Diriku

Diriku

Selasa, 19 Oktober 2010

SEPATU UNTUK CHIKA


Sesampai di halte, napasku terengah-engah. Aku baru saja berlari cepat untuk menghindari orang gila yang sedang duduk di bawah salah satu pohon cemara yang berderet-deret di sekitar sekolah. Menurut cerita temanku, orang gila itu pernah melempar batu ke arah salah satu mobil guru hingga kacanya pecah. Bahayanya, seorang anak balita sedang berada di dalam mobil. Untungnya anak itu tidak mengalami luka yang cukup parah. Hanya saja terdapat luka goresan di lengannya akibat terkena serpihan kaca yang halus.
Arlojiku menunjukkan pukul 2 siang. Itu artinya hanya ada satu atau dua ngkutan umum lagi yang bisa mengantarku ke rumah. Ketika aku duduk di kursi panjang, aku hanya melihat wanita paruh baya yang duduk di belakang meja. Wanita paruh baya itu tengah sibuk menghitung uang. Aku pikir, uang itu mungkin hasil dari menjual minuman yang ada di mesin vending. Aku mendekati wanita itu.
“Kak, angkutan yang ke arah Tangkerang sudah singgah kesini?” tanyaku padanya.
Wanita itu langsung menoleh kearahku sambil menghentikan kegiatannya menghitung uang. “Belum nampak, tuh. Mungkin sekitar 15 menit lagi. Tunggu aja.”
Aku kembali duduk di kursi panjang. Sesekali bola mataku mengikuti arah gerakan beberapa kendaraan. Bahkan secara tidak sengaja aku menghitung jumlah mobil yang berbelok ke kanan. Beberapa kali angin sejuk berhembus menyapu rambutku yang tidak pernah rapi. Tapi beberapa kali juga kepulan asap seringkali membuatku terbatuk-batuk.
Seorang anak kecil berseragam SD berjalan menuju halte. Dia berjalan dengan susah payah. Sisi dalam sepasang sepatunya telah berlubang besar hingga terlihat kaus kaki lusuhnya. Dibenakku, mungkin anak itu tidak bisa berjalan normal hingga membuat sepatunya aus. Setelah sampai di halte, anak itu duduk di sudut kursi yang lain.
“Mau kemana, dik?” tanyaku karena tak tahan berdiam diri di halte yang kecil itu.
Anak kecil itu menoleh ke arahku. “Mau ke Gobah, kak,” katanya.
Aku mengangguk mengerti. “Dik, sepatumu sudah berlubang. Kenapa masih dipakai juga?” tanyaku sambil memandang lubang besar yang ada di sepatu anak itu.
Anak itu ikut melihat lubang di sepatunya juga. “Nggak apa-apa, kak. Selagi masih bisa dipakai, saya akan terus memakainya,” katanya. “Seandainya ada sepatu yang terbuat dari besi elastis, mungkin saya akan berusaha mendapatkannya dengan berbagai cara,” kata anak itu dalam hati.
“Trus kalo kena pecahan kaca, gimana? Atau terkena benda tajam yang lain ‘kan bahaya,” kataku.
Anak itu tidak bisa menjawabnya karena angkutan umum yang akan mengantarkannya ke Gobah sudah datang. “Maaf ya, kak. Angkotnya udah sampe,” katanya sambil berjalan menuju angkutan umum berwarna kuning itu.
“Iya, nggak apa-apa. Mau dibantu?” tanyaku menawarkan.
“Nggak usah, kak. Bisa kok,” katanya sambil melambaikan tangan.
Aku hanya bisa membalas lambaian tangannya. Beberapa menit kemudian, angkutan itu telah menjauh dang meninggalkan kepulan asap yang pekat. Dan beberapa menit kemudian, angkutan yang akan mengantarkanku ke Tangkerang telah datang. Aku langsung memasuki kendaraan itu.

JLJLJ

Ketika aku sampai di rumah, aku langsung mencari Bi Oci. “Biiik!!,” panggilku.
“Iya, non. Ada apa?” jawabnya dari arah dapur.
Aku langsung berjalan mencari sumber suara. Ketika aku menoleh ke arah dapur, Bi Oci sedang menggoreng ikan. Aku meletakkan ransel di lantai dan duduk di kursi makan. “Bibi tau nggak tempat orang jual sepatu bekas?” tanyaku sambil memain-mainkan sendok dan garpu.
“Tau, non. Setau bibi, di gudang kita ada banyak sepatu bekas. Emang buat apaan, sih?” tanya bibi sambil memutar badannya kearahku.
“Mau disumbanginlah. Lagian sepatu bekas ‘kan menuh-menuhin tempat. Tikarnya mama aja nggak kebagian tempat. Malahan diletakkan di atas rak helm,” kataku.
“Oh, gitu. Non Andin butuh berapa? Biar nanti bibi cariin. Trus yang nomor berapa?” tanya Bi Oci.
“Nggak tau. Kalo ada yang seukuran dengan kaki anak SD. Trus yang hitam ya, Bi,” kataku sambil menyandang ranselku kembali, lalu beranjak meninggalkan dapur.
Keesokan harinya, ketika aku bangun tidur, aku sudah melihat sepatu bekas yang sudah dibungkus dengan kardusnya. Tak lupa Bi Oci juga meletakkan benda itu ke dalam plastik hitam dan diletakkannya di depan lemari pakaianku. Setelah bersiap-siap, barulah aku berangkat sekolah.
Sesampai di sekolah, Treta sudah datang dan duduk di sebelah kursiku. Sejak aku masuk kelas, dia sudah memandangi kantong plastik yang aku bawa. Dan ketika aku duduk, dia menanyakan hal itu.
“Sepatu buat siapa?” tanya Treta.
“Kamu kok tau ini isinya sepatu?” tanyaku terkejut.
“Itu ‘kan kotak sepatu. Adik aku aja sepatunya merk itu,” katanya sambil mengambil novel di tasnya.
“Emang isinya sepatu,” kataku mengakui.
“Buat apa bawa-bawa sepatu ke sekolah? Mau ikut bakti sosial, ya?” tanya Treta.
“Nggak. Pasti yang ngadain OSIS, ya?” kataku sambil melipat tangan di atas meja.
“Iya. Kok nggak ikut jadi pengurus program itu?” tanya Treta sambil mengambil novel dari dalam tasnya.
“Malas. Lagian aku nggak di bagian itu,” kataku sambil meletakkan kepala di atas meja. “Ada PR?”
“Nggak ada,” kata Treta sambil membolak-balikkan novel.

JLJLJ

Sepulang sekolah, aku segera berlari ke halte yang dekat dengan sekolahku, karena takut bertemu orang gila yang biasa duduk di bawah pohon cemara. Tapi, kali ini aku tidak melihat orang gila itu. Mungkin saja dia sedang berada di tempat lain. Tapi walaupun begitu, aku tetap harus hati-hati. Teriknya matahari seakan-akan menyuruhku untuk cepat berlindung di balik atap halte.
Sesampai di halte, arlojiku sudah menunjukkan pukul 2 lewat 10 menit. Napasku terengah-engah sambil mendekati wanita yang duduk di balik meja.
“Mbak, angkutan yang akan ke Tangkerang udah singgah kesini?” tanyaku.
“Belum. Kabarnya di Jalan Jenderal Soedirman sedang ada demo. Jadi hampir semua angkutan kota diberhentikan. Tunggu aja,” kata wanita tersebut.
Aku duduk di kursi panjang yang telah disediakan. Berbeda dengan hari kemarin. Hari ini halte sedikit ramai. Ada beberapa mahasiswi dan seorang pramuniaga toko yang duduk denganku di kursi yang sama. Sambil mengamati tingkah orang-orang yang duduk sebangku denganku, aku menunggu kedatangan anak yang berseragam SD kemarin.
Perlahan-lahan bayangan pohon sudah condong ke timur. Itu artinya hari sudah mendekati malam. Namun, tak satu pun angkutan umum yang singgah ke halte tersebut. Banyak calon penumpang yang kecewa, dan akhirnya memutuskan untuk pulang tanpa angkutan umum. Aku juga sangat kecewa, karena selain tidak ada angkutan umum yang singgah, anak kecil yang kemarin kutemui tidak menampakkan batang hidungnya. Kudekati wanita paruh baya tersebut.
“Kak, hari ini nampak anak kecil yang kemarin duduk di dekat saya, nggak?” tanyaku.
Wanita itu menutup koran yang dibacanya. “Hari ini saya nggak lihat, dik. Mungkin nggak sekolah kali, ya. Kalo kemarin saya lihat dua kali. Pagi sebelum jam setengah tujuh sama sekitar jam dua,” jawab wanita itu.
Saat itu juga, angkutan umum yang akan mengantarkan penumpang ke Tangkerang datang. Aku langsung memasuki kendaraan tersebut tanpa berbicara sepatah kata pun dengan supirnya. Dari kaca spion, sopir itu seakan-akan tau apa yang sedang aku rasakan.

JLJLJ

Sesampai di rumah, mama menyambut kedatanganku di ruang tamu. Aku langsung duduk di samping mama yang sedang membaca majalah fashion. Sambil membuka sepatu, dan meletakkan kotak sepatu di bawah meja tamu, mama bertanya padaku.
Kok pulangnya telat?” tanya mama berpura-pura tidak tau apa yang terjadi.
“Masa’ mama nggak tau, sih??!! Ada demo besar-besaran di jalan Jenderal Soedirman yang mengakibatkan beberapa angkutan umum tidak dapat beroperasi,” kataku dengan intonasi suara yang semakin lama semakin meningkat. Dengan cara seperti itu, sesak yang ada didadaku akan berkurang.
“Kok nggak nelpon mama, sih?? Waktu itu ‘kan mama ada di Bank,” kata mama sambil menutup majalahnya.
“Kok nggak bilang-bilang??!! Aku udah nunggu lama di halte,” kataku sambil membanting punggung ke sandaran kursi yang empuk.
“Ya ‘kan mama nggak tau kamu ada disana. Atau kamu mau diantar jemput kayak di SMP dulu?” tanya mama menawarkan.
“Nggak mau,” jawabku.
“Itu namanya latihan kesabaran,” kata mama sambil menghela napas. “Kamu kok bawa-bawa sepatu bekas?” tanya mama sambil melihat bayangan kotak sepatu dari balik kaca meja.
“Aku mau nyumbangin sepatu itu ke orang,” jawabku sambil bangkit dan mengambil sepatu sekolahku di lantai.
“Trus, kamu keberatan dengan membawa sepatu itu?” tanya mama.
“Nggak juga. Tapi sempat kecewa karena orang yang aku cari nggak datang,” kataku sambil meninggalkan mama.
“Oh, begitu,” kata mama kemudian.
“Emangnya kenapa, ma?” tanyaku.
“Kalo kamu merasa keberatan dengan membawa sepatu bekas itu, berarti sama saja kamu nggak ikhlas memberikan sepatu itu ke orang,” kata mama menjelaskan.
Aku hanya mengangguk mengerti dan meninggalkan ruang tamu itu.

JLJLJ

Keesokan harinya, aku berangkat sekolah dengan menaiki sepeda. Tadi malam, aku meminta tolong kepada Bi Oci untuk membersihkan sepedaku. Tak lupa pula aku gantungkan kantong plastik yang berisi sepatu bekas di stang sepeda. Hari ini aku berangkat sekolah lebih pagi dari biasanya, karena sebelumnya aku tidak pernah mengendarai sepeda ketika sudah berada di bangku SMA. Tadi malam aku juga bisa meyakinkan mama yang awalnya menolak rencanaku untuk berangkat sekolah menggunakan sepeda.
Ketika aku sedang melintasi halte yang ada di Gobah, aku melihat anak SD yang dua hari sebelumnya aku temukan dia di halte sekitar sekolahku. Aku terkejut dengan apa yang dilakukannya saat ini. Anak kecil itu membantu ibunya untuk menyuapi orang gila yang biasa berada di bawah pohon cemara di sekitar sekolahku. Yang membuat hatiku luluh adalah ketika orang gila itu memuntahkan makanan itu, anak itu membersihkan kotoran yang ada di sekitar mulutnya. Selain itu, Ibunya yang menyuapkan makanan ke mulut pria itu juga membersihkan kotoran yang ada di ubin dengan sabar.
Setelah melihat kejadian mengharukan dalam beberapa menit, aku memanggil anak kecil itu. Dan ketika kupanggil, anak itu langsung menoleh kearahku. Aku melambaikan tangan agar anak kecil itu mendekatiku. Ketika menghampiriku, dia berjalan dengan susah payah. Anak itu bertanya padaku. “Kakak kok kesini?” tanyanya polos.
“Kakak tadi liat kamu disini. Yang disuap itu siapa?” tanyaku sambil melirik ke orang gila tersebut.
“Yang sedang menyuapi itu ibuku, dan yang sedang disuapi itu ayahku,” katanya.
“Nama kamu siapa, dik?” tanyaku sambil membelai rambutnya.
“Chika,” jawabnya.
“Chika mau ikut kakak sebentar?” tanyaku sambil berlutut.
Chika tidak langsung menjawab. Dia melihat ibunya untuk meminta izin. Dari kejauhan, ibunya memandangku beberapa saat dan mengangguk mengizinkan. “Yuk, kak,” kata anak itu kemudian. Aku langsung berdiri dan membersihkan lututku.
Sambil memegangi tangan Chika, aku berjalan menuju sepedaku. Setelah sampai di depan sepedaku, ada sesuatu yang ingin aku tanyakan kepada Chika.
“Chika, kalo kakak boleh tau, ayahmu kenapa bisa seperti itu?” tanyaku.
“Ayah saya gila karena dipecat dari tempat kerjanya, kak,” jawab Chika.
“Hussh..., jangan bilang kalo ayahmu gila. Tapi bilang saja kalo ayahmu sedang sakit,” kataku meralat perkataannya. “Berarti orang itu gila karena stress,” kataku dalam hati.
“Iya kak, maaf. Ayahku sedang sakit,” kata Chika merasa bersalah.
Aku mengambil plastik yang berisi sepatu bekas dari stang sepedaku, lalu memberikannya kepada Chika. Chika memandangku bingung ketika aku menyodorkan plastik itu.
“Ini buat kamu, ya. Sepatu kamu ‘kan udah rusak, jadi kakak kasih sepatu bekas ini. Kakak minta maaf ya kalo nggak bisa belikan kamu sepatu baru,” kataku kepada gadis belia itu.
Ketika Chika menerima sepatu pemberianku, dia langsung membuka isi kardusnya. Dia mengambil sepatu dari dalam kotak dan mengamatinya. Setelah dipandangi beberapa saat, anak itu memandangku. “Kok kakak memberi saya sepatu ini?” tanya Chika.
Aku terkejut mendengar pertanyaan Chika. “Lho, emangnya kenapa? kamu nggak suka, ya?” tanyaku balik.
“Bukan,” jawabnya.
“Trus?”
“Sepatunya kok masih bagus? Saya kira sepatunya sudah ada yang rusak. ‘Kan kasian sepatunya kalo aku yang pakai. Nanti bolong lagi gimana?” tanya Chika. Kali ini aku tertawa kecil mendengarkan pertanyaannya.
“Kalo yang ini agak kuat kok, dik. Mudah-mudahan bisa bertahan sampai tahun ajaran baru. Kalo kakak punya uang lebih, mudah-mudahan bisa belikan Chika sepatu baru,” kataku.
“Makasih ya, kak. Kakak baik banget, deh,” kata Chika memberikan pujian.
“Iya, sama-sama. Oh ya, kakak sekolah dulu, ya. Kamu juga mau sekolah, ‘kan?” kataku sambil menaiki sepeda.
“Iya, kak.”
“Titip salam dengan ayah dan ibumu,” kataku sambil menjalankan sepeda.
“Iya, kak. Hati-hati, ya,” kata Chika sambil melambaikan tangan.
Aku hanya bisa mengangguk untuk membalasnya.
Hari ini, aku senang sekali karena telah menolong orang dengan ikhlas. Jika aku pulang sekolah nanti, aku akan menceritakan hal ini kepada mama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar