Diriku

Diriku

Senin, 18 Oktober 2010

JIWA BENING DI PESANTREN


Menjelang matahari terbenam, angin berhembus memasuki kamar melalui jendela depan. Ketika akan menutup jendela, aku tertegun melihat kumpulan burung walet yang kembali ke sarangnya. Walet – walet itu terbang berkelompok, hingga tidak ada satu ekor pun yang tertinggal di belakang. Pikiranku melayang pada kenangan bersama keluargaku. Walaupun paginya kami harus meninggalkan rumah dengan kesibukan masing – masing, malamnya kami harus berkumpul di rumah walaupun hanya dua jam saja. Tapi semua itu hanyalah kenangan yang tidak akan bisa kembali, karena mereka semua telah berpulang ke pangkuan – Nya.
            Kecelakaan itu terjadi ketika aku sedang mengikuti dharmawisata dengan warga sekolahku. Untungnya kak Ana sempat menceritakan kronologi kecelakaan itu sebelum dia menghembuskan napas terakhirnya. Saat tengah malam ke – 12 bulan Ramadhan, telah terjadi korsleting pada trafo yang menyalurkan listrik ke kampungku. Tidak ada yang mengetahui bahwa korsleting tersebut dapat menjalar ke rumah warga. Keluargaku baru terbangun ketika terasa udara panas di sekelilingnya. Sialnya, mereka terjebak api besar di pintu keluar sehingga hanya kak Ana yang bisa bertahan walaupun beberapa jam setelah kejadian.
            Tapi dibalik semua itu ada hikmah yang bisa diambil. Aku diasuh oleh orang tua temanku selama beberapa bulan. Karena nilaiku tinggi, aku mendapat beasiswa untuk bersekolah di pesantren ini selama tiga tahun. Kesempatan ini membantuku menghapus luka hati karena kehilangan keluarga, walaupun terkadang rasa sedih yang mendalam masih menerpa. Teman – temanku bisa menerimaku sepenuh hati di pesantren ini, sehingga aku bisa betah berada di pesantren ini.
            Aku tersentak ketika mendengar suara pintu diketuk dari luar. “Assalamu Alaikum. Siap – siap sholat Maghrib,” perintah umi Nadia dengan suara yang cukup keras.
            Sambil menutup jendela dan menarik tirai, aku membalas salam dari umi Nadia. “Wa Alaikum Salam. Iya, umi. Saya sedang siap – siap ke masjid.”
            Setelah berwudhu, aku mengambil mukenaku di gantungan handuk. Sebelum menyentuh kenop pintu, Annisa telah membukanya lebih dulu sehingga membuatku terkejut. “Astaghfirullah,” kataku sambil mengelus – ngelus dada.
            “Hehehe..... Kaget ya. Nissa mau ngambil mukena. Bareng yuk,” kata Annisa sambil masuk dan mengambil mukena di gantungan handuk.
            Aku menunggu Annisa di luar kamar. Setelah mengambil mukena dan menutup pintu, aku dan Annisa berjalan ke masjid sambil membicarakan banyak hal.
            “Nanti ikut ngumpul ekskul, ya. Soalnya kak Indri tadi bilang ke Nissa,” kata Annisa.
            “Insya Allah. Udah tau topik yang akan dibicarakan nanti?” tanyaku.
            “Belum. Tapi kata Nanda tentang berpakaian.”
            “Oh gitu. Usai sholat Isya bisa ikut Tadarus Qur’an gabungan, ‘kan?”
            “Kayaknya nggak bisa, deh. Soalnya Nissa punya PR banyak.”
            “Lain kali Nissa ikut Tadarus, ya. Sejak SMA, Dinda jarang liat Nissa ikut tadarus.”
            “Iya, belum pandai ngatur waktunya. Insya Allah dalam minggu ini Nissa ikut lagi, deh.”
Dari arah gerbang masjid, bang Fathan berjalan ke arah kami. Ketua umum ekskul tafsir hadist di pesantren ini berjalan dengan tenang. Wajahnya yang cakep dan alim membuat banyak santriwati jatuh hati padanya. Melihatnya akan mendekati kami, jantungku berdetak melebihi batas normal. Tanpa kusadari, bibirku seolah ingin tersenyum lebar. Kutahan semua itu dengan ber – istighfar sebanyak – banyaknya di dalam hati, menundukkan kepala sedikit, dan mengatupkan bibir serapat – rapatnya.
“Assalamu Alaikum,” kata bang Fathan memberi salam.
“Wa Alaikum Salam,” jawab aku dan Annisa. Walaupun bibir ingin tersenyum, aku menjawab salam itu dengan kepala menunduk.
“Selesai sholat maghrib, ekskul tafsir hadist tidak jadi berkumpul seperti biasanya, soalnya pengurus mau rapat untuk acara Ramadhan. Tolong sampaikan kepada akhwat yang lainnya, ya,” kata bang Fathan.
“Insya Allah disampaikan,” kata Annisa. Aku hanya mengangguk sambil menunduk.
Setelah saling memberi dan menjawab salam, aku dan Annisa segera sholat Tahiyatul Masjid sebelum duduk. Selesai sholat, aku beristighfar terus – menerus dengan suara berbisik karena adzan belum dikumandangkan. Annisa melihatku dengan tatapan heran.
“Dzikir, ya?” tanya  Annisa.
Aku hanya menoleh dan mengangguk tanda menanggapi pertanyaannya.
“Kok istighfar terus? Tahlil, tahmid, sama takbir – nya mana?” tanya Annisa.
“Aku baru saja hampir berbuat dosa,” kataku pelan dan meneruskan istighfar – nya.
“Ngapain? Gara – gara wudhu – nya batal tetap sholat, ya?” tanya Annisa tambah bingung. Aku hanya menggeleng pelan. “Trus ngapain?”
“Ada setan mau menggodaku tadi,” jawabku.
“Astaghfirullah. Kalo ada setan pasti ada ‘sesuatu’,” kata Annisa.
“Coba pikir sendiri apa ‘sesuatu’nya,” kataku.
Setelah adzan berkumandang, semua orang yang memasuki masjid diharap untuk tenang. Termasuk Annisa, dia memikirkan makna dari kata ‘sesuatu’ tanpa mengeluarkan suara.
Selesai sholat dan berdoa, Annisa baru bisa menebak makna dari kata ‘sesuatu’.
“Dinda suka sama bang Fathan, ya?” tanya Annisa berbisik.
“Insya Allah enggak. Hanya mengagumi,” kataku sambil berdzikir.
“Apa yang dikagumi?” tanya Annisa dengan nada menggoda.
“Isi otaknya yang subhanallah,” jawabku.
“Trus?” pancing Annisa.
“Kalo ada lanjutannya, berarti udah dikelabuhi setan. Makanya tadi baca istighfar banyak – banyak.”
“Kata umi Nadia, mengakrabi ikhwan ‘kan boleh. Asal nggak bersentuhan kulit.”
Kusebutkan salah satu hadist yang pernah kupelajari. “Kedua mata itu bisa melakukan zina, kedua tangan itu (bisa) melakukan zina, kedua kaki itu (bisa) melakukan zina. Dan kesemuanya itu akan dibenarkan atau diingkari oleh alat kelamin.”
”Dari Abu Hurairah,” sambung Annisa. ”Tapi kalo digunakan di hal – hal positif ’kan boleh.”
”Jika setan sudah di hati dan membisikkan rencana haram – nya sementara iman orang tersebut lemah, akan terjadi perzinaan. Salah satu waktu setan datang adalah bertemunya kaum Adam dan kaum Hawa yang bukan muhrimnya.”
”Oh, gitu. Tapi terkadang hawa nafsu ada yang baik. Seperti keinginan bersedekah ketika melihat orang – orang susah.”
”Iya. Tapi tidak semua orang bisa melihat hawa nafsu yang baik,” kataku sambil berdiri setelah melipat mukena.
Setelah sholat Isya, aku mengambil Al – Qur’an. Karena lemarinya hanya satu, dengan sabar semua akhwat yang ikut tadarus menunggu giliran dengan ikhwan untuk menjaga agar tidak bersentuhan. Semua santri berbaris dengan rapi. Ketika aku mengambil Al – Qur’an, selembar kertas jatuh dari antara lembaran Al – Qur’an. Kuambil kertas itu dan kubaca isinya.
Di sisi kanan atas terbaca nama seorang ikhwan. Naufathan Ali. Ketika kuamati, kertas itu adalah hasil nilai tengah semester. Jantungku kembali berdegup kencang. ”Ya Allah, apakah ini yang dimaksud iman yang lemah?” tanyaku dalam hati.
Kuselipkan kertas kembali di sekitar surah Al – Baqarah. Kuatur napasku agar degup jantung kembali normal. Kubaca istighfar berulang – ulang. Ketika tadarus dimulai, kucoba untuk konsentrasi dengan menyimak ayat – ayat yang dibaca oleh santri – santriwati yang lain.
Ketika tadarus telah usai, kuberanikan diri untuk mendekati bang Fathan. Aku berniat untuk memberikan Al – Qur’an yang kupegang. Kuatur napasku baik – baik agar dapat menutupi sesuatu yang membuatku bertingkah aneh. Di samping lemari Al – Qur’an, bang Fathan sibuk merapikan kitab hadist yang tidak beraturan. Ketika aku berada didekatnya, terasa degup jantung semakin hebat.
Kuberi salam sebelum mengutarakan niatku. ”Assalamu Alaikum.”
Bang Fathan menoleh kearahku. ”Wa Alaikum Salam,” jawabnya dengan senyum. ”Ada apa, dik?”
Sambil menyodorkan Al – Qur’an, aku berusaha untuk tenang. ”Surah Al – Baqarah ayat 219 memiliki arti yang mengagumkan.”
”Terima kasih. Adik salah satu anggota tafsir Al – Qur’an juga?” tanya bang Fathan sambil menerima Al – Qur’an.
”Tidak. Saya pernah membacanya ketika seseorang mengatakan bahwa dia berpegang teguh pada ayat itu,” kataku sambil menunduk.
”Mudah – mudahan orang yang mengamalkan ayat itu diberi kemudahan hidup,” kata bang Fathan.
”Aammiiin.”
”Adik pernah membaca hadist tentang akhlak mulia?”
”Sudah.”
”Amalkanlah hadist itu. Mengamalkan hadist sama halnya dengan mengamalkan Al – Qur’an.”
”Saya akan coba. Terimakasih informasinya.”
Jam dinding menunjukkan pukul sepuluh malam. ”Saya kembali ke asrama dulu, bang. Assalamu Alaikum.”
”Wa Alaikum Salam,” jawab bang Fathan.
Ketika aku selesai sholat Tahajjud, aku berdoa dengan kusyuk. ”Ya Allah, jika keluargaku tidak lagi bisa membimbingku ke surga, aku ingin bang Fathan yang membawaku ke surga. Namun aku tidak mengharapkan kedatangan setan yang membawa hawa nafsu yang zina. Walaupun aku menginginkan perhatiannya, aku sangat membutuhkan cara untuk membeningkan jiwa dari dosa. Aammiiinn.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar