Diriku

Diriku

Senin, 18 Oktober 2010

BUKTI DARI BUNDA


Bel berbunyi menandakan jam pelajaran hari ini telah usai. Aku berjalan menuju lorong yang memisahkan ruangan kelas XII dengan labor kimia. Ketika sampai di parkiran motor, awan bergeser menghalangi matahari sehingga udara di SMA Fajar Cipta perlahan-lahan berubah menjadi sejuk. Aku memakai jaket kulit dan mengenakan helm yang kusimpan di bagasi motor. Ketika aku akan menghidupkan mesin, Kikan menepuk bahuku.
“Hei, nanti jadi ‘kan kerumah Dinda?” tanya Kikan memastikan.
“Insya Allah. Pukul berapa jadinya?” tanyaku sambil mematikan mesin motor.
“Sekitar pukul empat. Soalnya aku mau tidur siang dulu,” kata Kikan.
“Oke,” kataku sambil memutar mesin.
Ketika aku akan menjalankan motor, Kikan berteriak,”Hati-hati di jalan.”
Aku hanya bisa memberi anggukan dan segera meninggalkan lingkungan sekolah.
Sesampai di rumah, aku langsung memasukkan motor ke dalam garasi. Dari dalam garasi sudah tercium aroma ayam goreng. Aku langsung menoleh ke arah dapur. Dari jendela dapur terlihat bi Ocha sedang membolak-balikkan ayam di dalam wajan.  Tanpa membuka sepatu, aku langsung masuk kedalam rumah melalui pintu dapur.
“Assalamu Alaikum,” kataku memberi salam.
“Wa Alaikum Salam. Udah pulang, non?” tanya bi Ocha dengan logat sundanya.
“Udah. Bunda udah pulang?” tanyaku sambil mencomot paha ayam goreng yang sudah diletakkan di piring besar.
Dari arah belakang, tiba-tiba bunda menjawab pertanyaanku pada bi Ocha. “Udah. Makanya, sebelum makan lepas sepatu sebelum masuk rumah, cuci muka dan kedua tangan, dan ganti baju.”
Sambil meletakkan ayam goreng di atas piring kecil, aku mencuci tangan dan segera membuka sepatu. Ketika meletakkan sepasang sepatu di rak, bunda mendekatiku.
“Kenapa kamu tadi pake sepatu di dalam rumah? Itu namanya nggak menghargai orang yang udah ngepel lantai. Kamu ‘kan pernah ngepel lantai, berarti kamu udah tau capeknya ngepel lantai. Masa’ lantai bersih diinjak-injak. Kalo mau pake alas kaki di dalam rumah, pake sandal jepit. Ngerti?” kata bunda panjang lebar.
Aku hanya mengangguk dan segera masuk ke dalam kamar. Kuhidupkan pendingin ruangan dan kuletakkan tas di atas meja belajarku. Sambil berbaring di atas ranjang dan memandang langit-langit kamar, terkadang aku senyum sendiri melihat tingkah ibuku.
Ibuku sangat teguh memegang adat istiadat dari kampung halamannya. Banyak aturan lama yang masih ibu percaya. Salah satunya adalah anak gadis tidak boleh pulang ke rumah lewat dari pukul delapan malam. Bunda takut jika ada orang yang berpikir negatif kepada anaknya jika pulang saat larut malam. Bunda juga sering mengatakan bahwa hal ini juga berguna untuk menjaga harga diri seorang wanita.
Terkadang aku sering melanggar kata-kata bunda. Pada saat itu terkadang aku menganggap bahwa jalan pikiran bunda tidak sesuai dengan perkembangan zaman masa kini. Jalan pikiran bunda bagiku sangat membosankan karena masih menggunakan peraturan tradisional. Tapi aku percaya bahwa bunda punya niat baik dibalik itu semua. Aku yakin akan adanya cara lain yang lebih menyenangkan dengan tujuan yang sama.
Setelah berganti pakaian, aku keluar dari kamar. Aku segera berjalan ke dapur untuk makan siang. Di meja makan, ibu sudah mendahuluiku makan. Setelah menyendok nasi ke piring, aku mengambil paha ayam goreng yang sempat ku gigit tadi. Aku makan tanpa berbicara sedikitpun. Kata bunda, jika berbicara saat makan itu tidak sopan. Ketika selesai makan, aku meminta izin untuk pergi.
“Bunda, pukul empat nanti aku ingin pergi ke rumah temanku untuk belajar kelompok. Boleh ‘kan?” tanyaku pada bunda.
“Temanmu yang punya rumah itu cowok atau cewek?” tanya bunda.
“Cewek, bunda. Tita namanya,” jawabku.
“Boleh. Asalkan kamu pulang sesuai aturan yang biasa bunda katakan,” kata bunda.
“Makasih, bunda,” kataku sambil berdiri menuju kamar.
Aku segera mengganti pakaian. Kukenakan kemeja lengan panjang dan celana jeans hitam. Kuputuskan memakai sepatu kets warna putih. Sebelum meninggalkan kamar, kusandang ranselku dan kupadamkan pendingin ruangan.
Di ruang tengah, bunda duduk di atas sofa kulit. Kudekati bunda dan kusalami tangannya.
“Bunda, aku mau berangkat dulu,” kataku sambil mencium punggung tangannya.
“Hati-hati di jalan. Taat sama peraturan lalu lintas,” kata bunda sambil mengangguk tanda mengizinkanku pergi.
Singkat cerita aku sudah berada di rumah Tita. Kikan sudah datang duluan sebelum aku sampai. Dia sedang duduk di lantai beralaskan karpet tebal. Sambil memegang buku, Kikan menyapaku.
“Hai, Venta,” sapa Kikan.
“Hai. Mana Tita?” tanyaku.
“Lagi fotocopy sama Derby,” jawab Kikan.
“Oh, gitu. Sekarang aku dikasih tugas apa, nih?” tanyaku sambil meletakkan tas di bawah meja.
“Buat kesimpulan dan saran dari bab V,” kata Kikan sambil menyerahkan  buku diktat.
“Oke. Akan kucoba,” kataku sambil memulai membaca.
Tanpa terasa telah banyak waktu yang kulewati. Aku baru menyadari hal tersebut ketika mendengar adzan maghrib dikumandangkan.
“Udah maghrib nih,” kataku.
“Iya. Kok belum pulang juga, ya?” kata Kikan mulai resah.
“Nggak tau. Tadi mau fotocopy, ‘kan?” tanyaku.
“Iya. Mungkin pindah-pindah, soalnya’kan sekarang musim mati lampu,” kata Kikan.
“Trus yang menyalakan lampu rumahnya siapa?” tanyaku ketika menyadari bahwa lampu rumah Tita menyala.
“Tita punya pembokat. Santai aja,” kata Kikan.
“Tita, nanti kalo pukul tujuh dia belum pulang, aku pulang duluan ya,” kataku.
“Yah, jangan dong. Masa’ pulang sih?” cegah Kikan.
“Emangnya kita masih ada tugas laen?” tanyaku.
“Enggak. Tapi ‘kan nggak enak sama yang punya rumah,” kata Kikan.
“Yang punya rumah kan orang tuanya. Bukan dia,” kataku.
“Oh iya ya. Berarti kamu nanti pamitnya sama orang tuanya aja,” kata Kikan.
“Iyalah. Dia aja ditunggu nggak datang-datang,” kataku sambil memasukkan beberapa buku ke dalam tas.
Jam dinding menunjukkan tepat pukul tujuh malam. Aku belum merasakan tanda-tanda kedatangan Tita dan Derby. Sesuai dengan rencana awal, akhirnya aku memutuskan untuk pulang. Setelah berpamitan dengan orang tua Tita, aku terpaksa meninggalkan Kikan menunggu jemputannya.
Sesampai di rumah, aku langsung menuju kamar. Ketika kunyalakan lampu, ada beberapa kantong yang berisi pakaian baru saja di beli di mall. Aku terkejut dan senang. Setelah meletakkan ransel di meja belajar, aku langsung mencari bunda. Ternyata bunda sedang berada di teras belakang.
“Bunda, makasih bajunya,” kataku pada bunda yang duduk di atas ayunan.
“Sama-sama. Oh ya, tadi kamu belajar kelompok di rumah siapa?” tanya bunda.
“Di rumah Tita, bunda. Tapi yang kerja hanya aku dan Kikan saja. Titanya keluar untuk fotocopy,” jawabku.
“Oh gitu. Soalnya waktu di mall bunda liat teman kamu lagi jalan sama anak teman bunda. Waktu bunda sapa, dia malah buang muka. Emang dasar anak zaman sekarang ya,” kata bunda sambil berdecak.
“Emang siapa nama anak teman bunda?” tanyaku curiga.
“Kalau tidak salah namanya Derby. Tapi ceweknya itu teman kamu. Mungkin mereka pulang larut malam,” kata bunda.
“Jangan berburuk sangka dulu, bunda,” kataku pada bunda.
“Itu hanya insting bunda saja, kok,” kata bunda.
Mungkinkah Tita dan Derby yang dimaksud bunda? Temanku yang memiliki sikap yang seperti diceritakan bunda hanya mereka berdua. Hatiku terus bertanya-tanya hingga aku terlelap dalam tidur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar