Diriku

Diriku

Selasa, 23 November 2010

Eritroblastosis Fetalis

Dalam istilah sehari-hari, anak disebut sebagai darah daging ibunya. Wajar disebut demikian karena sejak dalam bentuk zigot, anak terus bertumbuh dan berkembang dalam rahim ibunya seolah-olah anak tersebut berasal dari darah dan daging ibunya.
Ternyata secara ilmiah, terbentuknya zigot sampai menjadi janin dalam tubuh ibu sampai akhirnya lahir menjadi seorang anak tidak sesederhana itu. Darah yang terbentuk dalam tubuh anak dapat berbeda dari ibunya, bahkan suatu faktor yang terkandung dalam darah anak tersebut dapat menyebabkan terbangkitnya suatu sistem imun dalam darah ibunya yang kemudian “menggempur” sel darah anaknya sendiri.
Eritroblastosis Fetalis misalnya, merupakan suatu kelainan berupa hemolisis pada janin yang akan tampak pada bayi yang baru lahir karena inkompatibilitas golongan darah dengan ibunya. Inkompatibilitas ini menyebabkan terbentuknya sistem imun ibu sebagai respon terhadap sel darah bayi yang mengandung suatu antigen.
Kelainan hemolitik ini dapat disebabkan oleh inkompatibilitas faktor Rh. Faktor Rh ini bersifat dominan, artinya seseorang yang memiliki satu saja copy faktor Rh dalam gennya dinyatakan Rh positif, sedangkan yang tidak punya copy faktor Rh dalam gennya digolongkan sebagai Rh negatif. Ibu dengan Rh – dan ayah Rh +, ada kemungkinan anaknya memiliki Rh + karena mendapat faktor Rh dari ayahnya. Hal ini berarti darah ibu tidak punya faktor Rh, sedangkan dalam darah janinnya ada faktor Rh, dan hanya dalam kasus seperti inilah terjadi inkompatibilitas Rh.
Inkompatibilitas golongan darah ABO juga bisa menyebabkan eritroblastosis fetalis. Dalam sistem ini dikenal antigen A dan antigen B. Orang yang mempunyai antigen A dalam sel darah merahnya bergolongan darah A, yang mempunyai antigen B bergolongan darah B, yang mempunyai kedua antigen tersebut bergolongan darah AB, sedangkan yang tidak punya kedua antigen disebut bergolongan darah O. Inkompatibilitas ABO ini terjadi pada ibu dengan golongan darah O dengan janin yang mempunyai antigen A dan atau antigen B.
Pada prinsipnya inkompatibilitas terjadi bila sel darah merah janin yang mengandung suatu antigen yang tidak dimiliki oleh ibu masuk kedalam sirkulasi darah ibu. Antigen tersebut mensensitisasi sistem imun ibu untuk membentuk antibodi, yaitu suatu protein yang berfungsi menyerang dan menghancurkan sel-sel yang dianggap benda asing atau membawa benda asing (antigen), dan terjadilah destruksi sel darah merah janin.
Meskipun prinsipnya hampir sama, inkompatibilitas Rh lebih berbahaya daripada inkompatibilitas ABO karena anti-Rh yang terbentuk lebih mudah masuk ke sirkulasi bayi melalui plasenta dibandingkan anti-A atau anti-B.
Masalah inkompatibilitas ini belum terlalu bermasalah pada kehamilan pertama karena hanya sedikit darah janin yang masuk ke dalam sirkulasi darah ibu sehingga tidak terbentuk antibodi dari tubuh ibu, baru pada saat melahirkan darah janin banyak masuk ke sirkulasi darah ibu. Terbentuknya antibodi setelahnya tidak berpengaruh pada bayi pertama yang sudah lahir tersebut. Namun, adakalanya perdarahan-perdarahan kecil pada kehamilan menyebabkan darah janin masuk ke sirkulasi ibu dan terbentuk antibodi.
Pada kehamilan berikutnya janin dalam keadaan yang lebih berbahaya karena antibodi ibu yang telah terbentuk setelah proses kelahiran sebelumnya menyerang sel darah janin yang mengandung antigen. Akibatnya sel-sel darah janin mengalami hemolisis hebat.
Hemolisis menyebabkan bayi mengalami anemia. Tubuh bayi mencoba mengkompensasi dengan melepaskan sel darah muda yang disebut eritoblas ke sirkulasi darahnya. Produksi besar-besaran eritoblas ini menyebabkan pembesaran hati dan limpa, dan dapat juga menyebabkan pembentuk jenis sel darah lain seperti trombosit dan faktor pembekuan darah lain berkurang, akhirnya dapat terjadi perdarahan masif.
Hiperbilirubinemia juga terjadi akibat hemolisis, karena, hemoglobin dipecah dan terbentuklah bilirubin. Bayi menjadi jaundice, yaitu terlihat warna kuning pada kulit dan sklera matanya. Bila tak teratasi, bisa terjadi kernikterus yaitu bilirubin tertimbun di otak yang membahayakan janin. Gejala lainnya adalah hidrops fetalis, yaitu akumulasi cairan dalam tubuh janin (edema). Akumulasi cairan dalam rongga dada menyebabkan hambatan nafas bayi.
Untuk meminimalisasi bahaya eritroblastosis fetalis ini, hendaknya dilakukan pemantauan sejak dini. Apabila ada potensi inkompatibilitas pada golongan darah ibu dan anak, misalnya ibu dengan Rh-negatif dengan suami yang Rh-positif, sebaiknya dilakukan pemantauan berkala antibodi yang terbentuk dalam darah ibu. Bila memungkinkan dapat dilakukan amniosintesis ataupun pengambilan darah janin dari umbilical cord sehingga golongan darah janin dapat diketahui. USG juga dapat menjadi alternatif pemantauan untuk mendeteksi adanya hidrop fetalis. Apabila ada tanda bahaya dan kehamilan telah berusia 32-34 minggu hendaknya kehamilan segera diakhiri dengan segera melakukan proses kelahiran.
Pada bayi yang sudah lahir dapat dilakukan transfusi darah untuk mengatasi anemia dan juga perdarahan. Fototerapi dilakukan untuk membantu mengatasi hiperbilirubinemia. Bayi juga bisa diberi oksigen dan cairan berisi elektrolit dan obat-obatan untuk mengatasi gejala-gejala yang timbul (pengobatan simptomatis).
Untuk kehamilan kedua dari ibu yang janinnya mengalami eritroblastosis fetalis pada kehamilan pertama, hendaknya berkonsultasi dengan dokter sesegera mungkin.

Jumat, 05 November 2010

DRAKULA VS ISLAM


Membongkar Sebuah Kebohongan
Kisah hidup Dracula merupakan salah satu contoh bentuk penjajahan sejarah yang begitu nyata yang dilakukan Barat. Kalau film Rambo merupakan suatu fiksi yang kemudian direproduksi agar seolah-olah menjadi nyata oleh Barat, maka Dracula merupakan kebalikannya, tokoh nyata yang direproduksi menjadi fiksi. Bermula dari novel buah karya Bram Stoker yang berjudul Dracula, sosok nyatanya kemudian semakin dikaburkan lewat film-film seperti Dracula’s Daughter (1936), Son of Dracula (1943), Horror of of Dracula (1958), Nosferatu (1922)-yang dibuat ulang pada tahun 1979-dan film-film sejenis yang terus-menerus diproduksi.
Lantas, siapa sebenarnya Dracula itu?
Dalam buku berjudul “Dracula, Pembantai Umat Islam Dalam Perang Salib” karya Hyphatia Cneajna ini, sosok Dracula dikupas secara tuntas. Dalam buku ini dipaparkan bahwa Dracula merupakan pangeran Wallachia , keturunan Vlad Dracul. Dalam uraian Hyphatia tersebut sosok Dracula tidak bisa dilepaskan dari menjelang periode akhir Perang Salib. Dracula dilahirkan ketika peperangan antara Kerajaan Turki Ottoman – sebagai wakil Islam – dan Kerajaan Honggaria – sebagai wakil Kristen – semakin memanas. Kedua kerajaan tersebut berusaha saling mengalahkan untuk merebutkan wilayah-wilayah yang bisa dikuasai, baik yang berada di Eropa maupun Asia . Puncak dari peperangan ini adalah jatuhnya Konstantinopel – benteng Kristen-ke dalam penguasaan Kerajaan Turki Ottoman.
Dalam babakan Perang Salib di atas Dracula merupakan salah satu panglima pasukan Salib. Dalam peran inilah Dracula banyak melakukan pembantaian terhadap umat Islam. Hyphatia memperkirakan jumlah korban kekejaman Dracula mencapai 300.000 ribu umat Islam. Korban-korban tersebut dibunuh dengan berbagai cara-yang cara-cara tersebut bisa dikatakan sangat biadab – yaitu dibakar hidup-hidup, dipaku kepalanya, dan yang paling kejam adalah disula. Penyulaan merupakan cara penyiksaan yang amat kejam, yaitu seseorang ditusuk mulai dari anus dengan kayu sebesar lengan tangan orang dewasa yang ujungnya dilancipkan. Korban yang telah ditusuk kemudian dipancangkan sehingga kayu sula menembus hingga perut, kerongkongan, atau kepala. Sebagai gambaran bagaimana situasi ketika penyulaan berlangsung penulis mengutip pemaparan Hyphatia:
“Ketika matahari mulai meninggi Dracula memerintahkan penyulaan segera dimulai. Para prajurit melakukan perintah tersebut dengan cekatan seolah robot yang telah dipogram. Begitu penyulaan dimulai lolong kesakitan dan jerit penderitaan segera memenuhi segala penjuru tempat itu. Mereka, umat Islam yang malang ini sedang menjemput ajal dengan cara yang begitu mengerikan. Mereka tak sempat lagi mengingat kenangan indah dan manis yang pernah mereka alami.”
Tidak hanya orang dewasa saja yang menjadi korban penyulaan, tapi juga bayi. Hyphatia memberikan pemaparan tentang penyulaan terhadap bayi sebagai berikut:
“Bayi-bayi yang disula tak sempat menangis lagi karena mereka langsung sekarat begitu ujung sula menembus perut mungilnya. Tubuh-tubuh para korban itu meregang di kayu sula untuk menjemput ajal.”
Macam-macam penyiksaan Dracula tersebut dibahas dalam Bab III buku ini. Metode penyiksaan yang digunakan Dracula untuk menyiksa korban-korbannya antara lain penyulaan, merebus korban hidup-hidup, memaku kepala korban, menjerat leher korban, merusak organ vital perempuan, dan beberapa metode penyiksaan lain yang tak kalah kejam. Di antara metode penyiksaan tersebut penyulaan merupakan yang paling terkenal. Penyulaan merupakan penyiksaan dengan cara memasukkan kayu-sebesar lengan tangan orang dewasa yang telah dilancipkan ujungnya-ke dalam anus. Setelah sula masuk kemudian tubuh korban dipancangkan sehingga kayu sula terus masuk menembus tubuh korban hingga tembus ke bagian leher, punggung, atau kepala. Biasanya penyiksaan semacam ini dilakukan oleh Dracula secara massal, sehingga sekali melakukan “upacara” penyulaan jumlah korbannya.
Kekejaman seperti yang telah dipaparkan di atas itulah yang selama ini disembunyikan oleh Barat. Menurut Hyphatia hal ini terjadi karena dua sebab. Pertama, pembantaian yang dilakukan Dracula terhadap umat Islam tidak bisa dilepaskan dari Perang Salib. Negara-negara Barat yang pada masa Perang Salib menjadi pendukung utama pasukan Salib tak mau tercoreng wajahnya. Mereka yang getol mengorek-ngorek pembantaian Hilter dan Pol Pot akan enggan membuka borok mereka sendiri. Hal ini sudah menjadi tabiat Barat yang selalu ingin menang sendiri. Kedua, Dracula merupakan pahlawan bagi pasukan Salib. Betapapun kejamnya Dracula maka dia akan selalu dilindungi nama baiknya. Dan, sampai saat ini di Rumania , Dracula masih menjadi pahlawan. Sebagaimana sebagian besar sejarah pahlawan-pahlawan pasti akan diambil sosok superheronya dan dibuang segala kejelekan, kejahatan dan kelemahannya.
Guna menutup kedok kekejaman mereka, Barat terus-menerus menyembunyikan siapa sebenarnya Dracula. Seperti yang telah dipaparkan di atas, baik lewat karya fiksi maupun film, mereka berusaha agar jati diri dari sosok Dracula yang sebenarnya tidak terkuak. Dan, harus diakui usaha Barat untuk mengubah sosok Dracula dari fakta menjadi fiksi ini cukup berhasil. Ukuran keberhasilan ini dapat dilihat dari seberapa banyak masyarakat – khususnya umat Islam sendiri – yang mengetahui tentang siapa sebenarnya Dracula. Bila jumlah mereka dihitung bisa dipastikan amatlah sedikit, dan kalaupun mereka mengetahui tentang Dracula bisa dipastikan bahwa penjelasan yang diberikan tidak akan jauh dari penjelasan yang sudah umum selama ini bahwa Dracula merupakan vampir yang haus darah.
Selain membongkar kebohongan yang dilakukan oleh Barat, dalam bukunya Hyphatia juga mengupas makna salib dalam kisah Dracula. Seperti yang telah umum diketahui bahwa penggambaran Dracula yang telah menjadi fiksi tidak bisa dilepaskan dari dua benda, bawang putih dan salib. Konon kabarnya hanya dengan kedua benda tersebut Dracula akan takut dan bisa dikalahkan. Menurut Hyphatia pengunaan simbol salib merupakan cara Barat untuk menghapus pahlawan dari musuh mereka -pahlawan dari pihak Islam – dan sekaligus untuk menunjukkan superioritas mereka.
Sultan Mahmud II
Siapa pahlawan yang berusaha dihapuskan oleh Barat tersebut? Tidak lain Sultan Mahmud II (di Barat dikenal sebagai Sultan Mehmed II). Sang Sultan merupakan penakluk Konstantinopel yang sekaligus penakluk Dracula. Ialah yang telah mengalahkan dan memenggal kepala Dracula di tepi Danua Snagov. Namun kenyataan ini berusaha dimungkiri oleh Barat. Mereka berusaha agar merekalah yang bisa mengalahkan Dracula. Maka diciptakanlah sebuah fiksi bahwa Dracula hanya bisa dikalahkan oleh salib.
Tujuan dari semua ini selain hendak mengaburkan peranan Sultan Mahmud II juga sekaligus untuk menunjukkan bahwa merekalah yang paling superior, yang bisa mengalahkan Dracula si Haus Darah. Dan, sekali lagi usaha Barat ini bisa dikatakan berhasil.
Selain yang telah dipaparkan di atas, buku “Dracula, Pembantai Umat Islam Dalam Perang Salib” karya Hyphatia Cneajna ini, juga memuat hal-hal yang selama tersembunyi sehingga belum banyak diketahui oleh masyarakat secara luas. Misalnya tentang kuburan Dracula yang sampai saat ini belum terungkap dengan jelas, keturunan Dracula, macam-macam penyiksaan Dracula dan sepak terjang Dracula yang lainnya.
Sebagai penutup tulisan ini penulis ingin menarik suatu kesimpulan bahwa suatu penjajahan sejarah tidak kalah berbahayanya dengan bentuk penjajahan yang lain – politik, ekonomi, budaya, dll. Penjajahan sejarah ini dilakukan secara halus dan sistematis, yang apabila tidak jeli maka kita akan terperangkap di dalamnya. Oleh karena itu, sikap kritis terhadap sejarah merupakan hal yang amat dibutuhkan agar kita tidak terjerat dalam penjajahan sejarah. Sekiranya buku karya Hyphatia ini – walaupun masih merupakan langkah awal – bisa dijadikan pengingat agar kita selalu kritis terhadap sejarah karena ternyata penjajahan sejarah itu begitu nyata ada di depan kita.

Serba Nggak Nyangka


Bel belum juga berbunyi, padahal hari semakin panas. Dari jendela labor fisika, sudah dapat dilihat banyak siswa yang keluar dari kelasnya. Kebetulan hari ini kelas kami sedang tidak ada guru. Jadi setelah mengerjakan tugas yang diberikan pak Andi, kami semua langsung mengemas buku ke dalam tas. Bahkan, diam-diam Tary sudah meninggalkan ruangan untuk mengambil pesanan di meja piket.
“Kok belum pulang, Fel?” tanya Dina ketika melihat cowok bermata sipit itu masih duduk di salah satu bangku.
“Nunggu Aurel. Dia mau nebeng sama aku,” kata Felix sambil melihat kearahku. Semua langsung terkejut dan seketika menatap heran kearahku. Aku yang merasa dilihat hanya melambaikan tangan dan tersenyum ke arah mereka. “Sama Tary juga,” sambung Felix.
“Oh,” kata beberapa temanku secara bersamaan. “Emangnya mau ngapain, Fel?” tanya Alicia.
“Ngelanjutin mading bahasa inggris yang belum selesai. Besok ‘kan dikumpul,” kata Felix.
Sebagian siswa yang ada di situ spontan ribut membicarakan tugas yang diberikan Pak Agus dua minggu lalu. Aku yang mendengar rencana-rencana mereka untuk mengerjakan tugas itu sempat tersenyum mendengarnya. Memang sih, tugas bukan cuma bikin mading aja. Bikin kata-kata bijak juga boleh, karena menurutku itu yang lebih mudah.
Jam dinding telah menunjukkan pukul dua lewat seperempat. Akhirnya sebagian besar siswa memutuskan untuk meninggalkan ruang labor fisika. Aku mengintip ke balik jendela, masih menunggu kedatangan Tary. Karena masih tidak terlihat juga, aku menoleh ke arah Felix yang masih ditemani Doni, Aldi, dan yang lainnya.
“Fel, kayaknya kita angsur jalan aja sambil nyari Tary. Tumben-tumbennya tuh anak lama,” kataku cemas.
“Ya udah, yuk. Oh ya, PP board-nya biar aku bawain,” kata Felix sambil mengambil PP board di mejaku. Aku berjalan dan berusaha membuka pintu dibantu oleh Felix.
“Thanks,” kataku singkat sambil melewati daun pintu. Felix hanya mengangguk dan menutup pintu kembali.
Kuperlambat langkahku hingga berjarak lima meter di belakang Felix. Kusapa beberapa orang yang aku kenal. Ratna yang berdiri di depan kelas bahasa inggris 2 melambaikan tangan kearahku.
“Hai, Rel. Udah dijemput?” tanya Ratna dengan senyumnya yang menawan.
“Udah,” jawabku singkat.
“Kok cepat kali??! Sama siapa?”
“Mama. Duluan ya,” kataku bohong sambil melambaikan tangan dan berjalan menjauhi Ratna.
Ketika aku melihat ke arah ruang majelis guru, Tary berlari kearahku dengan tangan kosong. Ketika sampai didekatku, dia langsung memberikan uang sepuluh ribuan.
Aku curiga. Jangan-jangan pesanan tidak diantar. “Rel, kiranya tadi yang piket lupa mesankan. Gimana tuh?” tanya Tary cemas.
“Ya udah, nggak pa-pa. Nanti kita ke Simpang Raya sendiri aja. Sekarang kita ikut Felix dulu,” kataku tenang, walaupun perut sudah tidak bisa diajak kompromi. Akhirnya kami berjalan menuju parkiran motor.
Ketika sudah sampai di parkiran motor, aku dan Tary tidak menunggu lama karena honda freed berwarna merah marun sudah berjalan ke arah kami. Setelah berhenti di hadapan kami, pintu belakang terbuka secara otomatis. Tary naik duluan, dan dia membantuku menaiki mobil dari dalam. Ketika aku sudah duduk, barulah pintu tertutup secara otomatis dan mobil mulai meninggalkan area sekolah.
“Tary, nanti kita letakkan tas di rumah Felix, trus pesan taksi ke Simpang Raya, ya?” kataku.
“Iya, nanti aku pesankan. Aku juga lapar,” kata Tary. Aku tau dia juga kelaperan.
Entah kenapa, aku merasa mobil Felix banyak yang berbeda dengan mobilku. Mewah untuk ukuranku. “Fel, mobilnya automatic, ya?” tanyaku tanpa sengaja.
“Nggak. Cuma pintunya aja yang automatic,” kata Felix.
“O,” kataku singkat.
Tidak terasa, mobil sudah sampai di garasi. Aku dan Tary berjalan keluar garasi dan menuju pintu ruang tamu. Tary tak lupa membawa PP board-nya yang diletakkan Felix di bagian belakang mobil. Ketika masuk rumah, aku langsung meletakkan tas diatas salah satu kursi tamu dan duduk di kursi tamu yang lainnya. Tary juga melakukan hal yang sama dengan tasnya, tapi setelah meletakkan PP board, dia duduk di lantai.
“Tary, kayaknya nggak jadilah kita langsung ke Simpang Raya. Kita tunggu Nagita dulu, soalnya dia ketuanya,” kataku sambil mengatur napas.
“Iya. Sambil nunggu dia, maunya kita ngerjain Kewarganegaraan dulu, Rel. Biar cepat selesai,” kata Tary.
“Yuk. Tapi aku mau pipis dulu,” kataku sambil berdiri.
“Mau pipis ato mau liat rumah?” goda Tary.
Aku tersenyum. “Dua-duanya boleh.”
“Taulah yang calon arsitek.” Tary berdiri dari duduknya. “Fel, Toilet mana, ya?” tanya Tary.
Felix yang baru saja menghidupkan komputer langsung berdiri dari duduknya. “Yuk,” kata Felix sambil berjalan ke dalam.
Kami mengikuti arah jalan Felix dari belakang. Setelah sampai, barulah Felix berhenti. “Tuh, toiletnya,” kata Felix sambil keluar.
“Thanks, ya,” kataku. Felix hanya mengangguk.
Ketika Felix sudah menjauh, aku menyeret Tary masuk secara paksa ke dalam toilet. Setelah mengunci pintu, barulah Tary protes. “Kok aku diajak masuk? Yang mau pipis itu siapa?”
“Aku. Temani aku pipis. Kalo nanti aku dimakan setan kau jadi saksinya,” kataku jail.
“Nggak ah. Masa’ liat orang pipis,” kata Tary mau keluar.
“Kau menghadap kesana jadi nggak liat aku pipis,” kataku sambil menahan kenop pintu.
“Kalo kau ajak ke toilet aku jadi pengen pipis,” kata Tary.
“Ya udah, pipis aja. ‘Kan gratis tuh. Tapi jangan di toilet. Di wastafel ato di bathub gitu,” kataku sambil cengengesan.
“Iya nih?” kata Tary sambil jalan ke bathub.
Melihat arah jalannya, aku setengah berteriak,”FEL, TARY MAU PIPIS DI BATHUB!!”
Tary langsung melotot kearahku.
“Rumah ini ‘kan lumayan kedap suara, Tary. Tenang aja,” kataku santai.
“Kau ni. Keluar, yuk!” kata Tary kesal.
Aku yang sudah siap buang air juga berdiri. Ketika sudah keluar dari toilet, semua pintu kamar terbuka.
“Rumah di camp bagus, ya. Kalo kita di camp pasti bisa tinggal disini,” kata Tary sambil mengintip salah satu kamar dari pintu.
“Kita nggak tinggal di sini, Tary,” kataku.
“Trus, kita tinggal dimana?”
“Paling mewah ya di Enau. Ini kompleks-nya orang kaya. Yuk,” kataku sambil jalan mengendap-ngendap.
Entah kenapa, Tary berteriak,”FEL, KAYAKNYA AUREL MAU NYURI DIA!!”
Kupukul bahu Tary kuat-kuat. “Kau ni aneh-aneh aja. Nggak sopan teriak-teriak dirumah orang,” kataku dongkol.
“Trus tadi kenapa kau teriak-teriak di dalam toilet?”
“O, mau nyamakan skor dia. Satu sama,” kataku sambil jalan seperti biasa.
Ketika sampai di ruang tamu, belum ada tanda-tanda Nagita datang. Sementara itu, Felix masih bermain komputer.
“Fel, Nagita belum datang, ya?” tanyaku.
“Belum, tuh. Bentar lagi mungkin,” kata Felix.
“Yuk, kita kerjakan Kewarganegaraan aja dulu, Tary. Nanti baru ditempelin,” kataku sambil membuka tas mencari bahannya.
Tary mengambil gunting yang ada di lemari pembatas. Sambil menggunting, aku dan Tary membicarakan banyak hal. Cerita dari rumah, sekolah, sampai masa lalu. Hal ini membuat waktu terasa singkat.
Selesai menggunting, aku terkejut ketika melihat jam yang sudah menunjukkan pukul setengah empat sore. “Tary, kita harus ke Simpang Raya. Kalo enggak, bisa kena maag kita nanti!” kataku sambil membereskan kertas-kertas yang berserakan di lantai.
“Felix, berapa nomor taksi camp?” tanya Tary sambil mengeluarkan ponselnya. Setelah diberitahu, Tary langsung menghubungi taksi atas namanya.
Selesai menelepon taksi, Tary menyadarkan aku akan sesuatu. “Eh, Nagita kok lama, ya?” tanya Tary.
Aku tersadar dan mengambil ponselku dari kantong tas dan mencari nomor Nagita. Kutekan tombol ‘contact’ dan ‘loudspeaker’.
“Halo,” kata Nagita ketika tersambung.
“Git, kau dimana?” tanyaku.
“Di jalan, mau ke rumah Felix.”
“Oh ya udah,” kututup sambungan teleponnya.
Aku, Tary, dan Felix tercengang mendengar kata-kata Nagita.
“Perasaan dari sekolah kerumah Felix nggak ada sepuluh menit,” kata Tary heran.
“Aku yakin, dia nggak mungkin ke Simpang Raya aja. Pasti mampir ke suatu tempat,” kataku sambil mengenakan sepatu.
Tak lama kemudian, mobil Derby berhenti di depan rumah Felix. Nagita keluar dari dalam bersama Derby. Setelah menurunkan kedua penumpang itu, mobil hitam itu berlalu. Ketika memasuki rumah, aura tak enak sudah melanda ruangan.
“Darimana aja kau?” tanya Tary.
“Dari gramedia. Beli bahan-bahan buat Derby. Anak ni ‘kan disuruh PA-nya bikin mading,” kata Nagita. Ketika melihat mading di atas salah satu meja, dia berkomentar. “Mading kita kok belum diapa-apain?”
“Kami nunggu, kau,” kata Tary.
“Nunggu? Sambil nunggu ‘kan bisa sambil ngerjain. Jadi selama aku pergi apa yang kalian kerjakan?” tanya Nagita sinis.
“Ngerjain Kewarganegaraan,” kataku asal. Ada nada masa bodoh saat aku mengatakannya.
“Besok harus dikumpulkan, tau?” kata Nagita sambil nada marah. “Lagian ngapa sih tadi nggak minta antar langsung ke Simpang Raya tadi?”
“Tadi ‘kan nebeng Felix,” kata Tary nggak kalah ketus.
“Minta tolong ‘kan bisa. Apa salahnya?” kata Nagita sambil menurunkan mading dari atas meja.
“Emangnya kita orang yang nggak tau terimakasih? Udah dikasih numpang, eh malah nyuruh-nyuruh,” kata Tary.
“FELIX, AUREL MINTA UANG IURAN BAHASA INGGRIS SEKARANG!!!” kataku dengan suara keras.
Felix terkejut dan menoleh kearahku. “Untuk apa, Rel?” tanya Felix lembut. Ada nada ketakutan didalamnya.
“MAKAN!!!” kataku sambil menadahkan telapak tangan.
Felix langsung masuk ke dalam. Sambil menunggu Felix, aku mengomel. “Maunya tadi aku nebeng kau sampe rumah. Jadi aku bisa makan enak di rumah,” kataku sambil menatap Nagita.
“Emang kita babu? Enak aja,” kata Nagita sambil menyusun kertas.
“Kau aja bilang kayak gitu. Apalagi Felix,” kata Tary.
Beberapa saat kemudian, dia keluar membawa dua lembar uang lima ribuan. Dari tangan Felix, langsung kusambar uang itu dan berdiri. Taksi datang tepat pada waktunya. Sebelum pintu tertutup, aku berpamitan.
“Felix, kita mau makan dulu, ya. Biar nggak kelaparan!” kataku sambil menekankan kata ‘kelaparan’ dengan melirik Nagita. Saat itu, Nagita asyik menyusun mading punya kelompok kami. Setelah menutup pintu, aku berjalan ke arah taksi.
Di dalam taksi, aku dan Tary menumpahkan rasa kesal.
“Egois banget sih, Nagita!” kata Tary.
“Sumpah, nggak nyangka dia bakal kayak gitu. Aku kira dia les dulu. Kiranya ke Pekanbaru sama cowok anehnya. Pandanganku di rumah Felix tentang Nagita sudah berubah 180 derajat,” kataku.
“Aku juga, Rel,” kata Tary.
“Sebenarnya aku tadi mau ngerjain mading bahasa inggris. Tapi karena ketuanya dia, trus nanti kita salah tempel ato apa, kita juga yang kena,” kataku.
“Trus, kenapa tadi Felix jadi kena sasarannya?”
“Sebenarnya bukan kena sasaran, tapi jadi media ‘sindir’ buat Nagita. Eh, kiranya dia nggak merasa. Nanti malam ‘kan dia online, aku mau minta maaf sama dia soal tadi. Abisnya aku lapar sih,” kataku.
“Iya, aku juga. Makanya emosi aku ikut meledak-ledak,” kata Tary.
“Oh ya, kita lama-lamain aja. Aku lagi kelaperan abis, nih,” kataku.
“Niatnya buat mancing emosi dia, ‘kan?” kata Tary. Aku hanya mengangguk.
“Mancing? Emangnya Asih,” kataku. Akhirnya kami tertawa bersama.

JLJLJ

Singkat cerita, aku dan Tary sudah pulang dari Simpang Raya. Ketika kami pulang ke rumah Felix, Yuki sudah datang mendahului kami. Dia sedang menggunting kertas-kertas yang akan dijadikan hiasan. Sebenarnya ada satu lagi temanku. Andika namanya. Tapi karena dia mengikuti kejurnas softball, jadi diberi dispensasi oleh Nagita.
“Mana tugas kami?” tanyaku seperti biasa.
“Buat huruf dari kertas ini. Terserah kalian gimana baiknya. Yang penting bagus,” kata Nagita sambil menempelkan gabus dengan double tip.
Ketika aku mengambil kertas origami, aku melihat selembar cerita yang berjudul Cinderella.
“Dongeng Cinderella punya siapa?” tanyaku sambil memindahkan bahan-bahan tertentu ke meja yang lain.
Karena tidak ada yang menyahut, kudekatkan mukaku ke muka Nagita dan berteriak,”Cinderella punya siapa??!!!” tanyaku dengan suara keras.
“Punya Yuki!!” kata Nagita nggak kalah keras. “Anak tu bongak kali jadi orang. Disuruh yang menjurus ke kesehatan malah Cinderella yang dipilihnya,” gerutu Nagita.
“Kalo disuruh Cinderella aku punya. Malahan ada yang versi pak Agus yang terdahulu,” kataku sambil menggunting kertas berbentuk huruf H.
“Maksudnya?” tanya Nagita.
“Waktu semester satu ‘kan kami dikasih copy-an fairy tales gitu,” kataku.
“O,” jawab Nagita singkat.
Sementara kami bekerja, Yuki dan Derby pergi mem-print beberapa artikel yang berhubungan dengan bahasa inggris. Berhubung printer Felix lagi nggak ada tinta, terpaksa mereka berdua keluar. Awan juga mulai petang.
“Git, aku pulang, ya,” kataku sambil meletakkan huruf-huruf.
“Kerjakan ini dulu baru boleh pulang,” kata Nagita.
“Rumah aku Tangkerang,” kataku sambil menggunting double tip.
Tidak ada sahutan darinya. Kudekatkan mukaku di depan mukanya. “RUMAHKU TANGKERANG!! JARAKNYA NGGAK SEDEKAT IKSORA KE SEKOLAH!!” kataku dengan nada keras.
“Kerjakan ini dulu, Aurel. Jangan marah-marah kayak gitu!” kata Nagita tegas.
“Siapa yang nggak marah-marah kalo ada pancingannya. Sedangkan Felix aja kalo dipancing bisa marah-marah,” kataku.
“Kalo kau pulang kubilang sama pak Agus,” ancam Nagita.
“Bilanglah. Setidaknya pak Agus bisa memaklumi kalo rumah aku jauh,” kataku menantangnya.
“Aku bilang, ya,” kata Nagita sambil memegang ponsel.
“Aku juga bisa melaporkan keterlambatan kau tadi,” kataku sambil senyum mengancam.
“Nggak, kok. Aku cuma bercanda,” kata Nagita.
“Ya udah, kerja lagi. Bikin ribut aja dirumah orang,” kata Tary.
Ternyata efek negatif dari penggunaan double tip itu tetap ada. Beberapa gunting telah ditempeli double tip sehingga lengket dan susah untuk digunakan. Felix yang sejak aku dan Tary datang dari Simpang Raya berusaha menggunting kertas akhirnya selesai.
“Rel, tolong guntingin double tip ini,” kata Felix sambil memegang double tip. Aku menggunting double tip yang ada di ujung jarinya menjadi potongan yang lebih kecil untuk dilekatkan di kertasnya.
“Woi, kok Yuki pilih Cinderella, ya? Aku nggak ngerti maksudnya apa kalo di dalam cerita itu emang ada unsur kesehatannya,” kataku sambil terus mengguntingi double tip di tangan Felix.
“Entahlah. Aku nggak ngerti jalan pikiran anak itu. Paling enggak putri salju ‘kan bisa,” kata Nagita sambil menata kertas.
“Tapi kalo putri salju cara menyembuhkannya ‘kan nggak masuk akal. Masa’ dicium?” kata Felix.
Dikepalaku, terlintas pikiran yang membuatku tersenyum. Aku memikirkan kesalahan Yuki memilih Fairy Tales. Mungkin dia pikir waktu sepatu kaca Cinderella-nya lepas, kaki Cinderella mengalami cedera.
Tapi, suara Nagita tiba-tiba mengejutkanku. “Kok Aurel senyum-senyum? Mau dicium Felix ya?” tanya Nagita. Aku terkejut dengan hal itu. Aku tau dia bercanda, tapi sayangnya dia tidak bisa membaca situasi.
Ternyata sikapku yang tidak menanggapi Nagita membuatnya semakin menjadi-jadi. “Felix, masih ada kamar kosong, kan? Aurel mau nginap sini kayaknya,” kata Nagita dengan tidak berdosanya.
 “Ada,” Felix menanggapinya singkat dengan wajahnya yang dingin.
“Sayang, nanti malam kita SMSan ya,” kataku pada Tary.
Aku tau Tary akan menjawabnya. Tapi telah keburu dipotong Nagita. “Yang dipanggil ‘sayang’ itu siapa ya? Felix-kah?” tanya Nagita.
Semua orang yang ada disitu diam. Tidak ada yang menanggapi perkataan Nagita.
“Kalo diam berarti iya dong,” kata Nagita dengan tertawa yang berderai. Semua orang hanya menanggapinya dengan ekspresi dingin dan diam.
Aku menoleh ke arah jam. Ternyata telah menunjukkan pukul tujuh malam. “Fel, jam itu akurat, kan?” tanyaku.
“Lumayanlah. Kenapa, Rel?” kata Felix.
“Aku pulang ya, Fel. Nanti nyampe rumah udah isya. Nggak pa-pa, kan?” kataku.
“Iya, nggak pa-pa,” kata Felix.
“Tapi mading kita ‘kan belum selesai. Gimana tuh?” kata Nagita mengeluh.
“Yang beliin bahan siapa? Kau semakin menjadi-jadi kubilang besok,” tanyaku sinis, sambil membereskan alat-alatku.
“Oh, ya. Pulanglah,” kata Nagita.
“Sayang, ikut aku ke dekat pintu, yuk?” kataku.
“Yuk,” kata Tary sambil berdiri.
Ketika aku memakai sepatu, Tary memberiku usul. “Rel, gimana kalo tugas Kewarganegaraan kita aku hias. Mau nggak?” tanya Tary.
“Boleh juga tuh. Tapi nanti kalo kau bawa pulang lagi papa kau marah nggak?” tanyaku.
“Nggak. Ini ‘kan tugas,” kata Tary.
“Ya udah. Bawa aja,” kataku.
“Papa kau udah tau kau pulang sekarang?” tanya Tary.
“Udah. Tadi di Simpang Raya aku SMS minta jemput jam tujuh,” kataku sambil mengantongi ponsel di saku rok.
Tak lama kemudian, mobil Terios telah diparkir di depan rumah Felix.
“Eh, aku udah dijemput. Duluan ya Tary.”
Sambil berdiri, aku memanggil Felix. “Fel, Aurel pulang, ya. Makasih tumpangannya.”
“Iya, sama-sama, Rel. Aku juga makasih banyak,” kata Felix sambil berdiri hendak mengantarku sampai mobil.
Akhirnya hari yang penuh cerita telah berakhir sudah. Tinggal menunggu apa yang terjadi di kelas bahasa inggris besok.

JLJLJ

Setelah makan malam dan mengganti pakaian dengan pakaian tidur, aku membuka Facebook untuk menenangkan diri. Ku-klik nama ‘Felix Alfitra’ yang kebetulan online.
“Fel, sorry banget ya tentang yang tadi,” kataku sebelum menekan tombol ‘enter’.
“Iya, nggak pa-pa kok. Aku ngerti perasaan Aurel sama Tary,” balas Felix.
“Aku nggak nyangka Nagita seperti itu,” balasku.
“Iya. Padahal di kelas orangnya seru. Aku juga terkejut dengan kejadian tadi,” kata Felix.
Kuputuskan jaringan internet dan kumatikan laptopku. Lelah rasanya hari ini. Kulihat layar ponselku, dan ternyata ada lima pesan dengan isi yang sama dari Tary. Kubalasi pesan-pesan itu dan akhirnya aku tertidur.

SKETSA BAYANGAN DIA


Hari ini hari pertama Valerin berada di SMA Mulya Cendikia. Dia baru saja pindah dari Gorontalo karena orang tuanya dipindahtugaskan oleh perusahaan ternama disana. Karena sifatnya yang supel, hari pertama di sekolah barunya tidak menjadi kendala untuk berkenalan dengan teman – temannya. Begitu pula dengan teman – temannya yang tidak menganggap Valerin sebagai anak baru. Hal tersebut membuatnya dia betah dengan suasana sekolah barunya.
Ketika bel masuk berbunyi, semua siswa kelas XI IPA 2 berjalan menuju ruang seni rupa. Di ruangan tersebut, ada seorang wanita yang duduk di sudut ruangan sambil memainkan tangannya seperti sedang menari. Valerin melihat gerakan tangannya yang semakin lama semakin tidak beraturan.
”Agra, dia itu siapa?” tanya Valerin sambil melirik ke arah wanita di sudut ruangan.
”Oh, yang sedang memainkan tangan itu?” tanya Agra memastikan.
”Iya. Aku heran. Kok dia seperti itu?” kata Valerin.
”Namanya Gracia. Dia memang seperti itu. Terkadang, beberapa orang menyebutnya autis. Ada yang bilang kalo dia kena talassemia. Tapi kata Carell, dia itu sedang memendam perasaan sukanya sama cowok. Aku nggak tau banyak tentang dia. Tapi, dia baik kok,” kata Agra menjelaskan.
”Oh gitu,” kata Valerin menanggapi.
Ketika Pak Anwar memasuki kelas, semua siswa duduk lesehan di lantai. Setelah mengucapkan salam dan membaca doa, Pak Anwar mengajarkan bagaimana melukis dengan cara yang benar. Setelah menerangkan berbagai hal tentang melukis, barulah siswa – siswa diberi kesempatan untuk melukis di kanvas masing – masing dengan tema bebas.
Karena dipanggil oleh kepala sekolah, Pak Anwar meninggalkan siswa – siswanya yang masih menggambar sketsa. Valerin perlahan – lahan menggoreskan pensil di kanvasnya untuk membuat sketsa. Dia berencana akan membuat sebuah villa di daerah pegunungan. Ketika tanpa sengaja melirik ke arah sketsa Gracia, dia teringat sepupu yang tinggal bersamanya.
Valerin mendekati Gracia yang sedang membuat sketsa. Cara Gracia membuat sketsa berbeda dengan siswa pada umumnya. Dia tidak menggunakan kuas atau alat tulis, tapi dia menggunakan abu dari kertas yang sudah dibakar. Gracia menempelkan ujung jarinya pada abu dan menggoreskan jari tersebut di kanvas. ”Kenapa dia melukis Andrew?” kata Valerin dalam hati.
”Hai,” sapa Valerin. ”Sketsa kamu bagus, ya?”
Gracia menoleh sebentar, lalu meneruskan sketsanya sambil tersenyum. ”Makasih.”
”Dia itu siapa?” tanya Valerin.
”Namanya Andrew Frasser,” jawab Gracia.
Valerin terkejut mendengar nama yang baru saja disebutkan Gracia. Dia hanya bisa terdiam sambil memperhatikan jari telunjuk Gracia yang menggoreskan abu pada kanvas.
”Dia adalah orang pertama yang mengisi hatiku. Dia yang mengajarkanku bagaimana menjadi orang yang sabar, setia, dan menjadi orang yang menarik. Dia yang memberikan cinta pertama yang indah. Dia yang menyadarkanku akan Tuhan, pedoman hidup, kecerdasan, dan kasih sayang itu ada pada setiap orang. Waktu setahun itu rasanya sangat singkat ketika dia menjadi ketua ekskul kami saat itu. Tapi mereka masih menganggapku aneh. Mungkin mereka tidak sepaham denganku. Padahal, aku hanya menerapkan apa yang pernah dibilang Andrew,” kata Gracia menjelaskan.
”Kamu sayang sama dia?” tanya Valerin lembut.
”Mungkin sudah melebihi besarnya jagad raya,” kata Gracia.
Ketika Valerin pulang sekolah, dia melihat Andrew sedang duduk di teras belakang. Setelah mengganti pakaian, Valerin duduk di samping Andrew.
”Gimana dengan sekolahmu?” tanya Andrew.
”Baik. Menyenangkan. Kakak pernah jadi ketua kelas, ketua OSIS, atau ketua organisasi ekskul di sekolah?” tanya Valerin.
”Aku pernah jadi ketua ekskul. Menyenangkan sekali. Kami sering menginap di sekolah. Kenapa?” tanya Andrew.
”Kakak kenal Gracia Fendrine?” tanyaku tanpa basa – basi.
”Kenal. Dia itu cewek yang paling aku benci sedunia,” kata Andrew.
”Kenapa?” tanyaku.
”Waktu aku lagi PDKT sama Cecilia, ada teman aku yang nanya ’bukannya kamu jadian sama Gracia, ya?? Kok selingkuh gini??’ Secara perlahan – lahan aku dijauhi Cecilia. Yang paling aku benci saat itu, aku dibilang playboy,” kata Andrew dengan emosi.
”Kamu tau siapa ratu gosip saat itu?” tanya Valerin.
”Tau. Tata namanya. Tapi aku nggak yakin dia, karena Tata sahabat aku,” kata Andrew.
”Kak, setiap orang pasti punya musuh. Mungkin aja Tata benci sama Gracia. Kak Andrew jangan menyalahkan Gracia dulu,” kata Valerin.
”Karena Gracia, aku dikucilkan. Kenapa kamu tanya aku tentang Gracia? Dia itu teman sekelasmu?” tanya Andrew.
”Iya,” jawab Valerin.
”Bilang sama dia, jangan pernah main ke rumah ini. Ngerti?” kata Andrew. Valerin hanya mengangguk.
Valerin menduga bahwa Tata – lah yang menjadi pusat permasalahannya. Mungkin saja ada penyebab lain sehingga Gracia dipandang buruk oleh Andrew.
Keesokan harinya, tersiar kabar bahwa Gracia mengalami kecelakaan sehingga harus dirawat di ICU. Beberapa siswa diutus untuk menjenguk Gracia, termasuk Valerin. Mereka pergi menggunakan mobil Margaretha.
Sesampai disana, Valerin melihat tubuh Gracia yang penuh perban. Beberapa kantong darah dihubungkan ke tangannya. Tubuhnya lemah di atas ranjang. Valerin melihat lukisan yang bergambar Andrew.
Seorang suster keluar dari kamar Gracia. ”Kalian temannya? Tadi dia meminta sketsanya untuk dikumpulkan besok,” kata suster sambil berjalan ke arah meja administrasi.
Valerin bersedia membawa pulang lukisan Gracia. Sesampainya di rumah, dia memberikan lukisan itu kepada Andrew.
”Apa ini?” tanya Andrew.
”Masih marah dengan Gracia?? Aku rasa Tata udah fitnah Gracia, dan dia emang benar – benar cinta Kak Andrew. Sekarang dia terkapar di ICU,” kata Valerin marah.
Andrew terkejut bercampur bingung mendengar semua itu.