Diriku

Diriku

Senin, 18 Oktober 2010

BAYANGAN AYAH DAN IBU


Bagiku, perpustakaan cukup melindungi dari teriknya sinar matahari dari arah timur. Tapi beberapa siswa yang duduk di lain tempat tengah merasa gerah. Ada yang berpindah – pindah mencari tempat yang terlindung dari sinar matahari, ada yang membelakangi jendela yang berada di timur ruangan, bahkan ada yang duduk di lantai. Semua pendingin ruangan rasanya tidak bekerja secara maksimal, karena teriknya matahari tidak dapat dihalangi dengan kaca jendela saja. Ketika tirai di perpustakaan masih ada, beberapa pendingin ruangan sudah dapat menyejukkan ruangan. Akhir – akhir ini, penjaga perpustakaan sering kali mengingatkan kepada setiap pengunjungnya agar tidak merusak barang – barang di ruangan tersebut.
Di sudut ruangan, aku tengah asyik membaca sebuah novel yang akan kubuat resensi. Menurutku ceritanya menarik, karena sinopsisnya cukup menyentuh. Sinopsis itu menceritakan tentang seorang anak panti asuhan yang mencari ibunya. Ketika anak panti itu bermain – main di sekitar taman kota, dia bertemu dengan seorang wanita paruh baya yang membuat hatinya tenang. Sambil membaca isi ceritanya, aku berkhayal jika menjadi peran utama di dalam cerita novel tersebut.
Aku adalah anak yang terlahir dari hubungan di luar nikah. Aku berkesimpulan bahwa ibuku ‘menitipkan’ aku di depan rumah nenek. Menitipkan ini berarti meletakkan aku secara diam – diam di depan rumah nenek tanpa seorangpun mengetahuinya. Kata nenek, ayahku yang merupakan anak sulungnya telah meninggal ketika aku masih berumur dua tahun. Aku menduga bahwa nenek masih marah dengan ayah karena setiap aku ingin mengetahui hal – hal tentang ayah, nenek berusaha untuk mengalihkan pembicaraan dengan hal – hal lain. Karena ada rasa keingintahuan yang besar, terkadang aku marah dan meninggalkan nenek di rumah ketika nenek berusaha mengalihkan pembicaraanku.
Tanpa sengaja mataku melirik ke arah jam dinding. Ternyata lima menit lagi bel masuk akan berbunyi. Aku bangkit dari dudukku dan mengembalikan novel itu ke tempatnya semula. Petugas perpustakaan tidak mengizinkan pengunjungnya untuk membawa buku – buku di perpustakaan keluar ruangan. Dengan langkah yang bermalas – malasan aku berjalan keluar ruangan.
Ketika akan berbelok ke lorong, tanpa sengaja aku menabrak seseorang yang sedang membawa buku. Aku terkejut hingga terjatuh. Buku - buku itu jatuh berantakan sehingga menghalangi jalan. Aku langsung jongkok dan membantu orang tersebut mengumpulkan buku – bukunya.
“Maaf, bu. Saya nggak sengaja. Saya nggak tau kalo ada ibu dari arah lorong,” kataku meminta maaf. Ketika aku melirik, ternyata bu Sandra, guru kimiaku.
“Iya, nggak apa – apa, Andra. Ibu juga salah. Tadi jalannya terlalu ke tepi,” kata bu Sandra.
Ketika tanpa sengaja melihat wajahnya dari jarak satu meter, tiba – tiba hatiku merasakan sesuatu yang menenangkan. Ketenangan itu bahkan tidak bisa diungkapkan karena bercampur dengan rasa senang yang luar biasa. “Andai ibu kandungku seperti dia, mungkin aku tidak akan hidup dengan nenek seperti sekarang,” kataku dalam hati sambil terus mengumpulkan dan menumpuk buku – buku yang berserakan.
Dalam waktu yang singkat, akhirnya buku telah ditumpuk rapi. “Ibu mau kemana? Boleh saya bantu meletakkan semua buku ini?” tanyaku karena masih tidak enak hati telah menabraknya.
“Nggak usah. Ibu bisa sendiri, ‘kok. Makasih ya udah dibantuin ngumpulin buku – buku,” kata bu Sandra sambil berdiri.
“Saya yang seharusnya minta maaf karena udah menabrak ibu tadi,” kataku sambil berdiri dan memberikan tumpukan buku kepadanya.
“Kamu ‘kan nggak sengaja. Ya udah, ibu duluan masuk kelas, ya?” kata bu Sandra sambil berjalan ke arah utara sekolah.
Ketika bu Sandra meninggalkanku, ketenangan itu perlahan – lahan memudar.
Kulambatkan langkahku karena masih banyak waktu untuk menuju ruang kelas. Aku teringat beberapa gosip siswa yang sering beredar ketika mereka membahas tentang bu Sandra. Aku pernah mendengar gosip dari Livi, bahwa bu Sandra pernah melakukan hubungan diluar nikah sebelum melamar jadi guru di sekolah ini. Ana juga pernah mengatakan kepadaku bahwa anak bu Sandra seangkatan dengan kami. Dan beberapa gosip siswa lainnya yang sangat populer di sekolah kami adalah bu Sandra pernah menikah dengan pak Andre, guru Fisika dengan postur badan atletis.
Hampir semua teman – temanku senang dengan gosip. Tapi walaupun begitu, aku sangat bersyukur karena tidak ada satu orangpun siswa yang tahu dengan statusku. Jika salah satu dari siswa di sekolah ini ada yang tahu, mungkin saja aku sudah dikucilkan.
Sesampai di depan kelas, bel belum juga berbunyi. Sambil menunggu, aku duduk di teras kelas kelas. Beberapa saat setelah duduk, Angel memanggilku sambil berlari kearahku.
“Andra!!” panggil Angel sambil melambaikan tangannya.
Aku menoleh ke arah datangnya suara. Setelah Angel duduk di sampingku, dia mengatur napasnya yang tidak beraturan.
“Pinjam PR fisika, dong,” kata Angel dengan suara berbisik.
“Di dalam kelas,” jawabku.
“Ya ampun. Kalo di dalam kelas nggak bisa di ambil,” kata Angel dengan nada mengeluh. “Kenapa kelas harus dikunci?”
Dengan cepat aku menjawab pertanyaannya. “Karena bakalan ada siswa yang berjiwa maling.”
“Pinter,” puji Angel.
“Makasih,” jawabku sambil tersenyum lebar.
Bel berbunyi sangat nyaring. Semua siswa berjalan menuju kelasnya masing – masing. Dari arah ruang Majelis Guru, terlihat pak Andre sedang berjalan menuju kelas kami sambil menyandang tasnya dan memegang kunci. Melihat pak Andre yang semakin dekat, ternyata membuat Angel semakin takut.
“Aduh, gimana nih? Aku belum bikin PR fisika,” kata Angel panik.
“Kok belum buat?” tanyaku.
“Aku malas. Kamu tau ‘kan kalo aku lagi kumat malasnya seperti apa. Bisa aja semua pekerjaan terbengkalai,” kata Angel menjelaskan dengan berbisik. Raut wajahnya tak jauh dari kata panik.
“Palingan hukumannya nggak sampai di gantung di tiang bendera,” kataku santai.
Raut wajah Angel berubah jadi bete. “Emang enggak, Andra. Tapi masa’ dibentak – bentak sambil disuruh ngerjain soal – soalnya?”
Aku tidak menanggapi kata – kata Angel karena pak Andre sudah sampai di depan kelas. Aku langsung berdiri dan mendekati pintu yang sedang dibuka dengan kunci. Ketika pintu dibuka, aku masuk dan segera duduk di bangkuku.
Sambil menempelkan pipi di atas meja, aku melihat Angel dengan raut wajah bete bercampur panik. Ketika dia menoleh ke arahku, aku tertawa kecil. Dia membalasnya dengan menjulingkan mata dan mengeluarkan lidah, yang berarti mengejekku.
“Banyak – banyaklah berdoa. Mudah – mudahan pak Andre nggak ingat,” kataku sambil menadahkan tangan seperti orang berdoa.
“Dia tidak akan lupa, kecuali kepalanya tanpa sengaja tersentuh oleh benda keras secara kasar hingga amnesia,” kata Angel.
Aku hanya bisa menahan tawa sambil memegangi perut.
Ketika semua siswa sudah duduk dengan tertib di bangkunya masing – masing, pak Andre mengeluarkan buku – bukunya dari dalam tas.
“Kumpulkan PR kalian, sekarang,” kata pak Andre.
Semua siswa maju ke depan untuk mengumpulkan PR. Ada beberapa siswa yang tidak mengumpulkan PR saat itu hanya sibuk membolak – balikkan buku diktat. Tapi Angel malahan menenggelamkan kepalanya diantara dua tangan yang dilipat di atas meja mencari cara agar pak Andre tidak memeriksa buku PR itu.
Sesuai kebiasaan pak Andre, beliau langsung mengoreksi PR – PR itu. Aku yang mengetahui Angel ingin sekali menggagalkan kebiasaan pak Andre, langsung mendapatkan ide licik.
“Pak,” kataku sambil mengacungkan tangan.
Pak Andre menoleh kearahku. “Ada apa, Andra?” tanya pak Andre.
“Saya belum mengerti tentang gerak lurus berubah beraturan. Saya pikir gerak parabola berkaitan dengan gerak lurus berubah beraturan,” kataku.
“Memang benar. Apakah kamu tidak mengerti dengan PR yang bapak kasih kemarin?” tanya pak Andre.
“Saya mengerti, pak. Tapi saya belum paham betul konsepnya. Bisa bapak terangkan sekali lagi?” tanyaku dengan wajah yang meyakinkan.
Sebenarnya, aku tahu semua konsep yang ada di PR fisika kemarin, tapi karena ingin membantu Angel, aku coba untuk mengalihkan perhatian pak Andre dari PR.
“Oh begitu. Kali ini bapak akan mengulang lagi. Gerak lurus beraturan itu .....,” kata pak Andre menjelaskan.
Aku hanya memperhatikannya ketika menjelaskan tentang gerak parabola dan terkadang mengangguk mengerti.
Setelah menjelaskan sedetail – detailnya, pak Andre beralih pada buku diktat. “Untuk mempermudah pemahaman kalian, kerjakan soal – soal yang ada di halaman 34. Ambil kembali buku kalian,” kata pak Andre.
Aku segera mengambil buku latihanku, dan kembali duduk. Ketika aku akan menulis, tiba – tiba bola kertas mendarat di mejaku. Ketika kubuka, ternyata Angel menuliskan pesan.
Makasih udah menyelamatkanku,” kata Angel.
Aku tersenyum simpul dan membalas pesan itu. “Traktir aku makan siomay waktu pulang sekolah nanti,” balasku. Kulemparkan kembali kertas itu.
Setelah membaca isi pesanku, Angel hanya mengacungkan jempol tanda setuju.
Ketika sekolah telah usai, Angel menepati janjinya. Dia mengajakku makan siomay yang ada di depan sekolah. Kami duduk di teras toko karena tidak kebagian tempat. Toko Siomay di depan sekolahku sangat ramai, sehingga kami tidak kebagian tempat duduk.
Walaupun ramai, kami tidak menunggu lama untuk mendapatkan sepiring siomay. Sambil menyantap siomay, Angel membuka pembicaraan.
“Ternyata selain pintar, Andra jago mengalihkan sesuatu juga,” kata Angel.
“Biasa aja kali. Aku belajar dari nenek,” jawabku.
“Senangnya kamu masih memiliki nenek. Kapan – kapan aku main kerumahmu, ya,” kata Angel bersemangat.
“Jangan!!” kataku tiba – tiba.
“Lho, kenapa? Aku ‘kan juga ingin kenalan dengan keluarga kamu,” kata Angel.
“Kami sering berpindah – pindah karena banyak saudara yang tinggal di sini,” kataku. “Semoga aja kamu tidak tau dengan rahasia besarku,” kataku dalam hati.
“Oh, begitu. Ya udah deh,” kata Angel sambil menyendok siomay. “Oh ya, senang nggak jadi anak kesayangan pak Andre?” tanya Angel.
“Anak kesayangan?” aku hampir saja tersedak mendengarnya.
“Iya. Soalnya, semua siswa di SMA kita nggak ada yang bisa mengalihkan perhatian beliau seperti yang kamu lakukan tadi,” kata Angel.
“Masa’ sih???” tanyaku.
“Beneran. Kak Nilam yang masuk Sains club aja nggak bisa. Padahal pak Andre pernah jadi wali kelasnya, lho,” kata Angel.
“Trus? Apa hubungannya dengan ‘anak kesayangan’?” tanyaku tidak mengerti.
“Kalo menurut pendapatku, pak Andre selalu menjawab hampir semua pertanyaanmu dengan kata – kata yang halus. Kalo kami harus ngumpulin nyali dulu sebelum bertanya kepada beliau. Kamu tau ‘kan pak Andre tuh orangnya kasar,” kata Angel menerangkan.
“Oh, begitu. Aku rasa tidak. Soalnya setiap kata – kata halus pasti terselip kata – kata sindiran. Mungkin yang kamu bilang halus itu nada suaranya kali,” jawabku. Terkadang benar juga dengan apa yang baru dikatakan Angel tadi. Dia selalu memaki dan menggunakan nada yang cukup tinggi sebelum menjawab pertanyaan siswanya.
“Tapi menurutku nggak cuma masalah itu aja, deh. Chiara anak kelas XI IPA 1 pernah cerita. Dia bilang kalo kamu sering dijadikan tauladan yang baik gitu,” kata Angel sambil menyesap minumannya.
“Mungkin hanya masalah prestasi atau sikap, kali. Kalian juga bisa, ‘kan?” kataku.
Kadang terasa diskriminasi itu berlangsung ketika aku sedang belajar Fisika. Mereka sering mendapatkan perlakuan kasar dari pak Andre. Perlakuan tersebut bukan dilakukan secara fisik, tetapi secara psikis. Beberapa waktu yang lalu ketika diskriminasi itu berlangsung, dihatiku timbul perasaan tidak adil. Aku juga tidak tahu apa penyebabnya. Tapi aku selalu berpikir positif untuk ini. Mungkin saja Tuhan memberikan ini karena aku belum pernah merasakan kebaikan dari orang tua.
Ketika aku sampai di rumah, aku melihat nenek sedang membersihkan gudang. Setelah berganti pakaian, kuhampiri nenek yang sedang membongkar isi kardus.
“Nenek sedang apa? Udah makan?” tanyaku.
Nenek menoleh kearahku. Masker yang menutupi hidung dan mulutnya dibuka.
“Nenek sedang membongkar barang – barang di gudang. Manatau ada yang sudah tidak terpakai. Nanti kalau ada nenek jual saja ke tukang loak,” kata nenek.
“Nenek makan dulu, ya. Ini aku belikan siomay,” kataku sambil menggandeng tangan nenek.
“Nanti saja. Ini belum selesai. Uhukk... uhukk...,” nenek terbatuk – batuk ketika tidak sengaja menghirup debu gudang.
“Tuh, kan. Ya udah nenek makan dulu, aku bantu beresin gudang, ya,” kataku sambil menyiapkan makanan dan obat untuk nenek.
Setelah menyiapkan makanan nenek, aku masuk ke dalam gudang. Di dalam gudang aku melihat beberapa album yang disimpan di rak tua. Ketika melihat isi rak, sesuatu menarik perhatianku. Buku tahunan yang berwarna merah. Kuambil buku itu. Di dalamnya terdapat foto – foto yang tak ku kenal wajahnya.
Ketika aku mengamati wajah – wajah lugu itu satu persatu, mataku terpaku dengan wajah yang sangat familiar denganku. Wajah pak Andre dan bu Sandra. Pak Andre terlihat gagah. Salah satu fotonya adalah menggigit pena yang sudah menjadi kebiasaannya. Bu Sandra terlihat cantik. Dia mengenakan topi pets berwarna merah hati dan tersenyum. Kubawa album usang itu keluar gudang untuk kutunjukkan pada nenek.
Ketika aku sampai di ruang makan, ternyata nenek masih menikmati siomay yang aku beli sepulang sekolah.
“Nek, lihatlah. Di album ini ada foto guru – guruku,” kataku sambil menyodorkan album itu pada nenek.
Nenek menerima album itu dan melihatnya. Kemudian raut wajahnya terkejut,” Ini foto ayahmu!!”
Aku terkejut. “Ayah?” tanyaku tak percaya. Nenek menunjuk gambar pak Andre.
“Iya. Ayahmu dari dulu bercita – cita ingin menjadi guru. Apakah dia masih mengajar disekolahmu?” tanyaku dalam hati.
“Ma - masih,” kataku sambil terbata – bata.
“Dia telah difitnah dan diberi minuman keras oleh temannya. Ibumu juga diberi ‘obat’ oleh temannya. Mereka ingin mengusir orang tuamu dari sekolah. Setelah kejadian itu, aku tidak tahu cerita tentang mereka,” kata nenek menangis bahagia.
“Siapa ibuku?” tanyaku dengan tatapan kosong.
Nenek melihat album lagi. Dia menunjuk bu Sandra. “Dia ibumu. Wajah kalian mirip sekali.”
Ketika aku bercermin di sendok, ternyata wajahku memang mirip dengan bu Sandra. Akhirnya aku menangis terharu karena telah mengetahui orang tuaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar