Diriku

Diriku

Selasa, 23 November 2010

Eritroblastosis Fetalis

Dalam istilah sehari-hari, anak disebut sebagai darah daging ibunya. Wajar disebut demikian karena sejak dalam bentuk zigot, anak terus bertumbuh dan berkembang dalam rahim ibunya seolah-olah anak tersebut berasal dari darah dan daging ibunya.
Ternyata secara ilmiah, terbentuknya zigot sampai menjadi janin dalam tubuh ibu sampai akhirnya lahir menjadi seorang anak tidak sesederhana itu. Darah yang terbentuk dalam tubuh anak dapat berbeda dari ibunya, bahkan suatu faktor yang terkandung dalam darah anak tersebut dapat menyebabkan terbangkitnya suatu sistem imun dalam darah ibunya yang kemudian “menggempur” sel darah anaknya sendiri.
Eritroblastosis Fetalis misalnya, merupakan suatu kelainan berupa hemolisis pada janin yang akan tampak pada bayi yang baru lahir karena inkompatibilitas golongan darah dengan ibunya. Inkompatibilitas ini menyebabkan terbentuknya sistem imun ibu sebagai respon terhadap sel darah bayi yang mengandung suatu antigen.
Kelainan hemolitik ini dapat disebabkan oleh inkompatibilitas faktor Rh. Faktor Rh ini bersifat dominan, artinya seseorang yang memiliki satu saja copy faktor Rh dalam gennya dinyatakan Rh positif, sedangkan yang tidak punya copy faktor Rh dalam gennya digolongkan sebagai Rh negatif. Ibu dengan Rh – dan ayah Rh +, ada kemungkinan anaknya memiliki Rh + karena mendapat faktor Rh dari ayahnya. Hal ini berarti darah ibu tidak punya faktor Rh, sedangkan dalam darah janinnya ada faktor Rh, dan hanya dalam kasus seperti inilah terjadi inkompatibilitas Rh.
Inkompatibilitas golongan darah ABO juga bisa menyebabkan eritroblastosis fetalis. Dalam sistem ini dikenal antigen A dan antigen B. Orang yang mempunyai antigen A dalam sel darah merahnya bergolongan darah A, yang mempunyai antigen B bergolongan darah B, yang mempunyai kedua antigen tersebut bergolongan darah AB, sedangkan yang tidak punya kedua antigen disebut bergolongan darah O. Inkompatibilitas ABO ini terjadi pada ibu dengan golongan darah O dengan janin yang mempunyai antigen A dan atau antigen B.
Pada prinsipnya inkompatibilitas terjadi bila sel darah merah janin yang mengandung suatu antigen yang tidak dimiliki oleh ibu masuk kedalam sirkulasi darah ibu. Antigen tersebut mensensitisasi sistem imun ibu untuk membentuk antibodi, yaitu suatu protein yang berfungsi menyerang dan menghancurkan sel-sel yang dianggap benda asing atau membawa benda asing (antigen), dan terjadilah destruksi sel darah merah janin.
Meskipun prinsipnya hampir sama, inkompatibilitas Rh lebih berbahaya daripada inkompatibilitas ABO karena anti-Rh yang terbentuk lebih mudah masuk ke sirkulasi bayi melalui plasenta dibandingkan anti-A atau anti-B.
Masalah inkompatibilitas ini belum terlalu bermasalah pada kehamilan pertama karena hanya sedikit darah janin yang masuk ke dalam sirkulasi darah ibu sehingga tidak terbentuk antibodi dari tubuh ibu, baru pada saat melahirkan darah janin banyak masuk ke sirkulasi darah ibu. Terbentuknya antibodi setelahnya tidak berpengaruh pada bayi pertama yang sudah lahir tersebut. Namun, adakalanya perdarahan-perdarahan kecil pada kehamilan menyebabkan darah janin masuk ke sirkulasi ibu dan terbentuk antibodi.
Pada kehamilan berikutnya janin dalam keadaan yang lebih berbahaya karena antibodi ibu yang telah terbentuk setelah proses kelahiran sebelumnya menyerang sel darah janin yang mengandung antigen. Akibatnya sel-sel darah janin mengalami hemolisis hebat.
Hemolisis menyebabkan bayi mengalami anemia. Tubuh bayi mencoba mengkompensasi dengan melepaskan sel darah muda yang disebut eritoblas ke sirkulasi darahnya. Produksi besar-besaran eritoblas ini menyebabkan pembesaran hati dan limpa, dan dapat juga menyebabkan pembentuk jenis sel darah lain seperti trombosit dan faktor pembekuan darah lain berkurang, akhirnya dapat terjadi perdarahan masif.
Hiperbilirubinemia juga terjadi akibat hemolisis, karena, hemoglobin dipecah dan terbentuklah bilirubin. Bayi menjadi jaundice, yaitu terlihat warna kuning pada kulit dan sklera matanya. Bila tak teratasi, bisa terjadi kernikterus yaitu bilirubin tertimbun di otak yang membahayakan janin. Gejala lainnya adalah hidrops fetalis, yaitu akumulasi cairan dalam tubuh janin (edema). Akumulasi cairan dalam rongga dada menyebabkan hambatan nafas bayi.
Untuk meminimalisasi bahaya eritroblastosis fetalis ini, hendaknya dilakukan pemantauan sejak dini. Apabila ada potensi inkompatibilitas pada golongan darah ibu dan anak, misalnya ibu dengan Rh-negatif dengan suami yang Rh-positif, sebaiknya dilakukan pemantauan berkala antibodi yang terbentuk dalam darah ibu. Bila memungkinkan dapat dilakukan amniosintesis ataupun pengambilan darah janin dari umbilical cord sehingga golongan darah janin dapat diketahui. USG juga dapat menjadi alternatif pemantauan untuk mendeteksi adanya hidrop fetalis. Apabila ada tanda bahaya dan kehamilan telah berusia 32-34 minggu hendaknya kehamilan segera diakhiri dengan segera melakukan proses kelahiran.
Pada bayi yang sudah lahir dapat dilakukan transfusi darah untuk mengatasi anemia dan juga perdarahan. Fototerapi dilakukan untuk membantu mengatasi hiperbilirubinemia. Bayi juga bisa diberi oksigen dan cairan berisi elektrolit dan obat-obatan untuk mengatasi gejala-gejala yang timbul (pengobatan simptomatis).
Untuk kehamilan kedua dari ibu yang janinnya mengalami eritroblastosis fetalis pada kehamilan pertama, hendaknya berkonsultasi dengan dokter sesegera mungkin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar