Diriku

Diriku

Jumat, 05 November 2010

Serba Nggak Nyangka


Bel belum juga berbunyi, padahal hari semakin panas. Dari jendela labor fisika, sudah dapat dilihat banyak siswa yang keluar dari kelasnya. Kebetulan hari ini kelas kami sedang tidak ada guru. Jadi setelah mengerjakan tugas yang diberikan pak Andi, kami semua langsung mengemas buku ke dalam tas. Bahkan, diam-diam Tary sudah meninggalkan ruangan untuk mengambil pesanan di meja piket.
“Kok belum pulang, Fel?” tanya Dina ketika melihat cowok bermata sipit itu masih duduk di salah satu bangku.
“Nunggu Aurel. Dia mau nebeng sama aku,” kata Felix sambil melihat kearahku. Semua langsung terkejut dan seketika menatap heran kearahku. Aku yang merasa dilihat hanya melambaikan tangan dan tersenyum ke arah mereka. “Sama Tary juga,” sambung Felix.
“Oh,” kata beberapa temanku secara bersamaan. “Emangnya mau ngapain, Fel?” tanya Alicia.
“Ngelanjutin mading bahasa inggris yang belum selesai. Besok ‘kan dikumpul,” kata Felix.
Sebagian siswa yang ada di situ spontan ribut membicarakan tugas yang diberikan Pak Agus dua minggu lalu. Aku yang mendengar rencana-rencana mereka untuk mengerjakan tugas itu sempat tersenyum mendengarnya. Memang sih, tugas bukan cuma bikin mading aja. Bikin kata-kata bijak juga boleh, karena menurutku itu yang lebih mudah.
Jam dinding telah menunjukkan pukul dua lewat seperempat. Akhirnya sebagian besar siswa memutuskan untuk meninggalkan ruang labor fisika. Aku mengintip ke balik jendela, masih menunggu kedatangan Tary. Karena masih tidak terlihat juga, aku menoleh ke arah Felix yang masih ditemani Doni, Aldi, dan yang lainnya.
“Fel, kayaknya kita angsur jalan aja sambil nyari Tary. Tumben-tumbennya tuh anak lama,” kataku cemas.
“Ya udah, yuk. Oh ya, PP board-nya biar aku bawain,” kata Felix sambil mengambil PP board di mejaku. Aku berjalan dan berusaha membuka pintu dibantu oleh Felix.
“Thanks,” kataku singkat sambil melewati daun pintu. Felix hanya mengangguk dan menutup pintu kembali.
Kuperlambat langkahku hingga berjarak lima meter di belakang Felix. Kusapa beberapa orang yang aku kenal. Ratna yang berdiri di depan kelas bahasa inggris 2 melambaikan tangan kearahku.
“Hai, Rel. Udah dijemput?” tanya Ratna dengan senyumnya yang menawan.
“Udah,” jawabku singkat.
“Kok cepat kali??! Sama siapa?”
“Mama. Duluan ya,” kataku bohong sambil melambaikan tangan dan berjalan menjauhi Ratna.
Ketika aku melihat ke arah ruang majelis guru, Tary berlari kearahku dengan tangan kosong. Ketika sampai didekatku, dia langsung memberikan uang sepuluh ribuan.
Aku curiga. Jangan-jangan pesanan tidak diantar. “Rel, kiranya tadi yang piket lupa mesankan. Gimana tuh?” tanya Tary cemas.
“Ya udah, nggak pa-pa. Nanti kita ke Simpang Raya sendiri aja. Sekarang kita ikut Felix dulu,” kataku tenang, walaupun perut sudah tidak bisa diajak kompromi. Akhirnya kami berjalan menuju parkiran motor.
Ketika sudah sampai di parkiran motor, aku dan Tary tidak menunggu lama karena honda freed berwarna merah marun sudah berjalan ke arah kami. Setelah berhenti di hadapan kami, pintu belakang terbuka secara otomatis. Tary naik duluan, dan dia membantuku menaiki mobil dari dalam. Ketika aku sudah duduk, barulah pintu tertutup secara otomatis dan mobil mulai meninggalkan area sekolah.
“Tary, nanti kita letakkan tas di rumah Felix, trus pesan taksi ke Simpang Raya, ya?” kataku.
“Iya, nanti aku pesankan. Aku juga lapar,” kata Tary. Aku tau dia juga kelaperan.
Entah kenapa, aku merasa mobil Felix banyak yang berbeda dengan mobilku. Mewah untuk ukuranku. “Fel, mobilnya automatic, ya?” tanyaku tanpa sengaja.
“Nggak. Cuma pintunya aja yang automatic,” kata Felix.
“O,” kataku singkat.
Tidak terasa, mobil sudah sampai di garasi. Aku dan Tary berjalan keluar garasi dan menuju pintu ruang tamu. Tary tak lupa membawa PP board-nya yang diletakkan Felix di bagian belakang mobil. Ketika masuk rumah, aku langsung meletakkan tas diatas salah satu kursi tamu dan duduk di kursi tamu yang lainnya. Tary juga melakukan hal yang sama dengan tasnya, tapi setelah meletakkan PP board, dia duduk di lantai.
“Tary, kayaknya nggak jadilah kita langsung ke Simpang Raya. Kita tunggu Nagita dulu, soalnya dia ketuanya,” kataku sambil mengatur napas.
“Iya. Sambil nunggu dia, maunya kita ngerjain Kewarganegaraan dulu, Rel. Biar cepat selesai,” kata Tary.
“Yuk. Tapi aku mau pipis dulu,” kataku sambil berdiri.
“Mau pipis ato mau liat rumah?” goda Tary.
Aku tersenyum. “Dua-duanya boleh.”
“Taulah yang calon arsitek.” Tary berdiri dari duduknya. “Fel, Toilet mana, ya?” tanya Tary.
Felix yang baru saja menghidupkan komputer langsung berdiri dari duduknya. “Yuk,” kata Felix sambil berjalan ke dalam.
Kami mengikuti arah jalan Felix dari belakang. Setelah sampai, barulah Felix berhenti. “Tuh, toiletnya,” kata Felix sambil keluar.
“Thanks, ya,” kataku. Felix hanya mengangguk.
Ketika Felix sudah menjauh, aku menyeret Tary masuk secara paksa ke dalam toilet. Setelah mengunci pintu, barulah Tary protes. “Kok aku diajak masuk? Yang mau pipis itu siapa?”
“Aku. Temani aku pipis. Kalo nanti aku dimakan setan kau jadi saksinya,” kataku jail.
“Nggak ah. Masa’ liat orang pipis,” kata Tary mau keluar.
“Kau menghadap kesana jadi nggak liat aku pipis,” kataku sambil menahan kenop pintu.
“Kalo kau ajak ke toilet aku jadi pengen pipis,” kata Tary.
“Ya udah, pipis aja. ‘Kan gratis tuh. Tapi jangan di toilet. Di wastafel ato di bathub gitu,” kataku sambil cengengesan.
“Iya nih?” kata Tary sambil jalan ke bathub.
Melihat arah jalannya, aku setengah berteriak,”FEL, TARY MAU PIPIS DI BATHUB!!”
Tary langsung melotot kearahku.
“Rumah ini ‘kan lumayan kedap suara, Tary. Tenang aja,” kataku santai.
“Kau ni. Keluar, yuk!” kata Tary kesal.
Aku yang sudah siap buang air juga berdiri. Ketika sudah keluar dari toilet, semua pintu kamar terbuka.
“Rumah di camp bagus, ya. Kalo kita di camp pasti bisa tinggal disini,” kata Tary sambil mengintip salah satu kamar dari pintu.
“Kita nggak tinggal di sini, Tary,” kataku.
“Trus, kita tinggal dimana?”
“Paling mewah ya di Enau. Ini kompleks-nya orang kaya. Yuk,” kataku sambil jalan mengendap-ngendap.
Entah kenapa, Tary berteriak,”FEL, KAYAKNYA AUREL MAU NYURI DIA!!”
Kupukul bahu Tary kuat-kuat. “Kau ni aneh-aneh aja. Nggak sopan teriak-teriak dirumah orang,” kataku dongkol.
“Trus tadi kenapa kau teriak-teriak di dalam toilet?”
“O, mau nyamakan skor dia. Satu sama,” kataku sambil jalan seperti biasa.
Ketika sampai di ruang tamu, belum ada tanda-tanda Nagita datang. Sementara itu, Felix masih bermain komputer.
“Fel, Nagita belum datang, ya?” tanyaku.
“Belum, tuh. Bentar lagi mungkin,” kata Felix.
“Yuk, kita kerjakan Kewarganegaraan aja dulu, Tary. Nanti baru ditempelin,” kataku sambil membuka tas mencari bahannya.
Tary mengambil gunting yang ada di lemari pembatas. Sambil menggunting, aku dan Tary membicarakan banyak hal. Cerita dari rumah, sekolah, sampai masa lalu. Hal ini membuat waktu terasa singkat.
Selesai menggunting, aku terkejut ketika melihat jam yang sudah menunjukkan pukul setengah empat sore. “Tary, kita harus ke Simpang Raya. Kalo enggak, bisa kena maag kita nanti!” kataku sambil membereskan kertas-kertas yang berserakan di lantai.
“Felix, berapa nomor taksi camp?” tanya Tary sambil mengeluarkan ponselnya. Setelah diberitahu, Tary langsung menghubungi taksi atas namanya.
Selesai menelepon taksi, Tary menyadarkan aku akan sesuatu. “Eh, Nagita kok lama, ya?” tanya Tary.
Aku tersadar dan mengambil ponselku dari kantong tas dan mencari nomor Nagita. Kutekan tombol ‘contact’ dan ‘loudspeaker’.
“Halo,” kata Nagita ketika tersambung.
“Git, kau dimana?” tanyaku.
“Di jalan, mau ke rumah Felix.”
“Oh ya udah,” kututup sambungan teleponnya.
Aku, Tary, dan Felix tercengang mendengar kata-kata Nagita.
“Perasaan dari sekolah kerumah Felix nggak ada sepuluh menit,” kata Tary heran.
“Aku yakin, dia nggak mungkin ke Simpang Raya aja. Pasti mampir ke suatu tempat,” kataku sambil mengenakan sepatu.
Tak lama kemudian, mobil Derby berhenti di depan rumah Felix. Nagita keluar dari dalam bersama Derby. Setelah menurunkan kedua penumpang itu, mobil hitam itu berlalu. Ketika memasuki rumah, aura tak enak sudah melanda ruangan.
“Darimana aja kau?” tanya Tary.
“Dari gramedia. Beli bahan-bahan buat Derby. Anak ni ‘kan disuruh PA-nya bikin mading,” kata Nagita. Ketika melihat mading di atas salah satu meja, dia berkomentar. “Mading kita kok belum diapa-apain?”
“Kami nunggu, kau,” kata Tary.
“Nunggu? Sambil nunggu ‘kan bisa sambil ngerjain. Jadi selama aku pergi apa yang kalian kerjakan?” tanya Nagita sinis.
“Ngerjain Kewarganegaraan,” kataku asal. Ada nada masa bodoh saat aku mengatakannya.
“Besok harus dikumpulkan, tau?” kata Nagita sambil nada marah. “Lagian ngapa sih tadi nggak minta antar langsung ke Simpang Raya tadi?”
“Tadi ‘kan nebeng Felix,” kata Tary nggak kalah ketus.
“Minta tolong ‘kan bisa. Apa salahnya?” kata Nagita sambil menurunkan mading dari atas meja.
“Emangnya kita orang yang nggak tau terimakasih? Udah dikasih numpang, eh malah nyuruh-nyuruh,” kata Tary.
“FELIX, AUREL MINTA UANG IURAN BAHASA INGGRIS SEKARANG!!!” kataku dengan suara keras.
Felix terkejut dan menoleh kearahku. “Untuk apa, Rel?” tanya Felix lembut. Ada nada ketakutan didalamnya.
“MAKAN!!!” kataku sambil menadahkan telapak tangan.
Felix langsung masuk ke dalam. Sambil menunggu Felix, aku mengomel. “Maunya tadi aku nebeng kau sampe rumah. Jadi aku bisa makan enak di rumah,” kataku sambil menatap Nagita.
“Emang kita babu? Enak aja,” kata Nagita sambil menyusun kertas.
“Kau aja bilang kayak gitu. Apalagi Felix,” kata Tary.
Beberapa saat kemudian, dia keluar membawa dua lembar uang lima ribuan. Dari tangan Felix, langsung kusambar uang itu dan berdiri. Taksi datang tepat pada waktunya. Sebelum pintu tertutup, aku berpamitan.
“Felix, kita mau makan dulu, ya. Biar nggak kelaparan!” kataku sambil menekankan kata ‘kelaparan’ dengan melirik Nagita. Saat itu, Nagita asyik menyusun mading punya kelompok kami. Setelah menutup pintu, aku berjalan ke arah taksi.
Di dalam taksi, aku dan Tary menumpahkan rasa kesal.
“Egois banget sih, Nagita!” kata Tary.
“Sumpah, nggak nyangka dia bakal kayak gitu. Aku kira dia les dulu. Kiranya ke Pekanbaru sama cowok anehnya. Pandanganku di rumah Felix tentang Nagita sudah berubah 180 derajat,” kataku.
“Aku juga, Rel,” kata Tary.
“Sebenarnya aku tadi mau ngerjain mading bahasa inggris. Tapi karena ketuanya dia, trus nanti kita salah tempel ato apa, kita juga yang kena,” kataku.
“Trus, kenapa tadi Felix jadi kena sasarannya?”
“Sebenarnya bukan kena sasaran, tapi jadi media ‘sindir’ buat Nagita. Eh, kiranya dia nggak merasa. Nanti malam ‘kan dia online, aku mau minta maaf sama dia soal tadi. Abisnya aku lapar sih,” kataku.
“Iya, aku juga. Makanya emosi aku ikut meledak-ledak,” kata Tary.
“Oh ya, kita lama-lamain aja. Aku lagi kelaperan abis, nih,” kataku.
“Niatnya buat mancing emosi dia, ‘kan?” kata Tary. Aku hanya mengangguk.
“Mancing? Emangnya Asih,” kataku. Akhirnya kami tertawa bersama.

JLJLJ

Singkat cerita, aku dan Tary sudah pulang dari Simpang Raya. Ketika kami pulang ke rumah Felix, Yuki sudah datang mendahului kami. Dia sedang menggunting kertas-kertas yang akan dijadikan hiasan. Sebenarnya ada satu lagi temanku. Andika namanya. Tapi karena dia mengikuti kejurnas softball, jadi diberi dispensasi oleh Nagita.
“Mana tugas kami?” tanyaku seperti biasa.
“Buat huruf dari kertas ini. Terserah kalian gimana baiknya. Yang penting bagus,” kata Nagita sambil menempelkan gabus dengan double tip.
Ketika aku mengambil kertas origami, aku melihat selembar cerita yang berjudul Cinderella.
“Dongeng Cinderella punya siapa?” tanyaku sambil memindahkan bahan-bahan tertentu ke meja yang lain.
Karena tidak ada yang menyahut, kudekatkan mukaku ke muka Nagita dan berteriak,”Cinderella punya siapa??!!!” tanyaku dengan suara keras.
“Punya Yuki!!” kata Nagita nggak kalah keras. “Anak tu bongak kali jadi orang. Disuruh yang menjurus ke kesehatan malah Cinderella yang dipilihnya,” gerutu Nagita.
“Kalo disuruh Cinderella aku punya. Malahan ada yang versi pak Agus yang terdahulu,” kataku sambil menggunting kertas berbentuk huruf H.
“Maksudnya?” tanya Nagita.
“Waktu semester satu ‘kan kami dikasih copy-an fairy tales gitu,” kataku.
“O,” jawab Nagita singkat.
Sementara kami bekerja, Yuki dan Derby pergi mem-print beberapa artikel yang berhubungan dengan bahasa inggris. Berhubung printer Felix lagi nggak ada tinta, terpaksa mereka berdua keluar. Awan juga mulai petang.
“Git, aku pulang, ya,” kataku sambil meletakkan huruf-huruf.
“Kerjakan ini dulu baru boleh pulang,” kata Nagita.
“Rumah aku Tangkerang,” kataku sambil menggunting double tip.
Tidak ada sahutan darinya. Kudekatkan mukaku di depan mukanya. “RUMAHKU TANGKERANG!! JARAKNYA NGGAK SEDEKAT IKSORA KE SEKOLAH!!” kataku dengan nada keras.
“Kerjakan ini dulu, Aurel. Jangan marah-marah kayak gitu!” kata Nagita tegas.
“Siapa yang nggak marah-marah kalo ada pancingannya. Sedangkan Felix aja kalo dipancing bisa marah-marah,” kataku.
“Kalo kau pulang kubilang sama pak Agus,” ancam Nagita.
“Bilanglah. Setidaknya pak Agus bisa memaklumi kalo rumah aku jauh,” kataku menantangnya.
“Aku bilang, ya,” kata Nagita sambil memegang ponsel.
“Aku juga bisa melaporkan keterlambatan kau tadi,” kataku sambil senyum mengancam.
“Nggak, kok. Aku cuma bercanda,” kata Nagita.
“Ya udah, kerja lagi. Bikin ribut aja dirumah orang,” kata Tary.
Ternyata efek negatif dari penggunaan double tip itu tetap ada. Beberapa gunting telah ditempeli double tip sehingga lengket dan susah untuk digunakan. Felix yang sejak aku dan Tary datang dari Simpang Raya berusaha menggunting kertas akhirnya selesai.
“Rel, tolong guntingin double tip ini,” kata Felix sambil memegang double tip. Aku menggunting double tip yang ada di ujung jarinya menjadi potongan yang lebih kecil untuk dilekatkan di kertasnya.
“Woi, kok Yuki pilih Cinderella, ya? Aku nggak ngerti maksudnya apa kalo di dalam cerita itu emang ada unsur kesehatannya,” kataku sambil terus mengguntingi double tip di tangan Felix.
“Entahlah. Aku nggak ngerti jalan pikiran anak itu. Paling enggak putri salju ‘kan bisa,” kata Nagita sambil menata kertas.
“Tapi kalo putri salju cara menyembuhkannya ‘kan nggak masuk akal. Masa’ dicium?” kata Felix.
Dikepalaku, terlintas pikiran yang membuatku tersenyum. Aku memikirkan kesalahan Yuki memilih Fairy Tales. Mungkin dia pikir waktu sepatu kaca Cinderella-nya lepas, kaki Cinderella mengalami cedera.
Tapi, suara Nagita tiba-tiba mengejutkanku. “Kok Aurel senyum-senyum? Mau dicium Felix ya?” tanya Nagita. Aku terkejut dengan hal itu. Aku tau dia bercanda, tapi sayangnya dia tidak bisa membaca situasi.
Ternyata sikapku yang tidak menanggapi Nagita membuatnya semakin menjadi-jadi. “Felix, masih ada kamar kosong, kan? Aurel mau nginap sini kayaknya,” kata Nagita dengan tidak berdosanya.
 “Ada,” Felix menanggapinya singkat dengan wajahnya yang dingin.
“Sayang, nanti malam kita SMSan ya,” kataku pada Tary.
Aku tau Tary akan menjawabnya. Tapi telah keburu dipotong Nagita. “Yang dipanggil ‘sayang’ itu siapa ya? Felix-kah?” tanya Nagita.
Semua orang yang ada disitu diam. Tidak ada yang menanggapi perkataan Nagita.
“Kalo diam berarti iya dong,” kata Nagita dengan tertawa yang berderai. Semua orang hanya menanggapinya dengan ekspresi dingin dan diam.
Aku menoleh ke arah jam. Ternyata telah menunjukkan pukul tujuh malam. “Fel, jam itu akurat, kan?” tanyaku.
“Lumayanlah. Kenapa, Rel?” kata Felix.
“Aku pulang ya, Fel. Nanti nyampe rumah udah isya. Nggak pa-pa, kan?” kataku.
“Iya, nggak pa-pa,” kata Felix.
“Tapi mading kita ‘kan belum selesai. Gimana tuh?” kata Nagita mengeluh.
“Yang beliin bahan siapa? Kau semakin menjadi-jadi kubilang besok,” tanyaku sinis, sambil membereskan alat-alatku.
“Oh, ya. Pulanglah,” kata Nagita.
“Sayang, ikut aku ke dekat pintu, yuk?” kataku.
“Yuk,” kata Tary sambil berdiri.
Ketika aku memakai sepatu, Tary memberiku usul. “Rel, gimana kalo tugas Kewarganegaraan kita aku hias. Mau nggak?” tanya Tary.
“Boleh juga tuh. Tapi nanti kalo kau bawa pulang lagi papa kau marah nggak?” tanyaku.
“Nggak. Ini ‘kan tugas,” kata Tary.
“Ya udah. Bawa aja,” kataku.
“Papa kau udah tau kau pulang sekarang?” tanya Tary.
“Udah. Tadi di Simpang Raya aku SMS minta jemput jam tujuh,” kataku sambil mengantongi ponsel di saku rok.
Tak lama kemudian, mobil Terios telah diparkir di depan rumah Felix.
“Eh, aku udah dijemput. Duluan ya Tary.”
Sambil berdiri, aku memanggil Felix. “Fel, Aurel pulang, ya. Makasih tumpangannya.”
“Iya, sama-sama, Rel. Aku juga makasih banyak,” kata Felix sambil berdiri hendak mengantarku sampai mobil.
Akhirnya hari yang penuh cerita telah berakhir sudah. Tinggal menunggu apa yang terjadi di kelas bahasa inggris besok.

JLJLJ

Setelah makan malam dan mengganti pakaian dengan pakaian tidur, aku membuka Facebook untuk menenangkan diri. Ku-klik nama ‘Felix Alfitra’ yang kebetulan online.
“Fel, sorry banget ya tentang yang tadi,” kataku sebelum menekan tombol ‘enter’.
“Iya, nggak pa-pa kok. Aku ngerti perasaan Aurel sama Tary,” balas Felix.
“Aku nggak nyangka Nagita seperti itu,” balasku.
“Iya. Padahal di kelas orangnya seru. Aku juga terkejut dengan kejadian tadi,” kata Felix.
Kuputuskan jaringan internet dan kumatikan laptopku. Lelah rasanya hari ini. Kulihat layar ponselku, dan ternyata ada lima pesan dengan isi yang sama dari Tary. Kubalasi pesan-pesan itu dan akhirnya aku tertidur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar