Guru BP : ”Apakah kamu senang bergabung dengan Ricko, Nabil, Husnul, dan Irma?”
Robby : ”Senang, bu. Saya senang sekali.”
Guru BP : ”Apakah kamu tidak merasa terbebani dengan mereka?”
Robby : ”Tidak. Sama sekali tidak. Ada apa, bu?”
Guru BP : ”Gini ya. Selama kamu bermain dengan Ricko, Nabil, Husnul, dan Irma, ibu melihat bahwa sepertinya kamu tidak bebas. Setiap hari kamu membawa banyak makanan yang tidak biasa kamu lakukan. Apakah mereka meminta sesuatu dari kamu?”
Robby : ”Tidak.” (grogi).
Guru BP : ”Jujurlah. Ibu mau kamu merasa bebas.”
Robby : ”Sebenarnya, saya bergabung dengan mereka karena sesuatu.”
Guru BP : ”Ibu boleh tau apa itu?”
Robby : (grogi). ”Saya ingin ..., menjadi diri saya yang lain. Saya ingin mencoba merubah penampilan.”
Guru BP : “Apakah mereka meminta sesuatu dari kamu?”
Robby : (diam).
Guru BP : “Robby, kalau mereka memberikan syarat yang tidak wajar, berarti mereka tidak sepenuhnya menerima kamu.”
Robby : “Bu, saya ingin mengubah penampilan saya aja. Bukan karakter saya.”
Guru BP : (tersenyum). ”Ibu tidak melarang kamu merubah penampilan atau berteman dengan siapa saja. Tapi menurut ibu, ibu suka kamu yang seperti dulu.”
Diluar ruangan, Husnul mengintip dari balik jendela kaca. Dia mengamati Robby yang tengah berbicara dengan Guru BP.
Husnul : ”Kenapa ada ketenangan setiap kali mendengar nasehat dari bibir dia? Padahal dia sedang tidak menasehatiku. Apakah ini yang namanya jatuh hati?”
Tak lama kemudian, Irma datang dan membuat Husnul terkejut.
Irma : (menepuk bahu Husnul). ”Hei!! Ngapain disini??!!”
Husnul : ”Mau tau aja mereka bicara apa.”
Irma : ”Nguping ya??” (senyum menggoda).
Husnul : ”Kalo misalnya Robby ngomongin semua yang kita lakukan sama dia, berarti kita bakalan kena sial.”
Irma : ”Trus tadi mereka ngomongin apa?”
Husnul : ”Ngomongin tentang perubahan dia selama beberapa hari ini, Irma.” (kesal).
Irma : ”Tapi mereka nggak ngomongin itu, ’kan? Maksud aku Robby bilang kalo kita minta Traktir sama dia beberapa hari ini.”
Husnul : ”Nggak.”
Irma : ”Ya udah. Nggak usah diperhatikan sampe segitunya. Ajarin aku Fisika, dong.”
Husnul : ”Maaf ya, aku nggak bisa.”
Irma : ”Kata Ricko kamu jago Fisika.” (wajah memelas).
Husnul : ”Kalo gitu, minta ajarin Ricko aja. Dia ’kan jago semua mata pelajaran.”
Irma : ”Tapi aku maunya sama kamu.”
Husnul : ”Maaf ya, nanti aku mau les kimia.”
Irma : ”Kalo gitu..., aku boleh gabung nggak?? Aku juga nggak bisa memahami rumus kimia.”
Husnul : ”Gimana ya??” (pura – pura berpikir).
Irma : ”Bisa, ’kan”
Husnul : ”Nggak!!!” (meninggalkan Irma).
Irma : ”Husnul!! Tungguin dong!!” (kesal).
Irma berjalah ke parkiran dengan perasaan kesal. Dia hhanya bisa melihat Husnul yang mengendarai motor meninggalkan sekolah. Beberapa saat kemudian, Ricko dan Nabil datang.
Nabil : ”Irma, kok masih disini?” (merangkul bahu Irma).
Irma : ”Iya. Sopir aku lama jemputnya.” (wajah bete).
Nabil : ”Oh kalo gitu pulang sama kita aja, yuk. Boleh ’kan, Ricko?” (menoleh ke arah Ricko).
Ricko : ”Boleh. Sekalian jalan – jalan. Yuk.”
Mereka berjalan ke arah mobil Ricko. Sesampai di dalam mobil, Irma masih memasang muka betenya.
Ricko : ”Maaf, ya. Mobilnya jelek.” (menyindir).
Irma : (terkejut). ”Nggak, kok. Malahan mobilnya lebih bagus daripada punya aku.”
Ricko : ”Oh ya? Makasih.”
Mobil itu kemudian hening. Yang terdengar hanya suara mesin mobil.
Irma : ”Nabil, Husnul itu emang orangnya ketus, ya?”
Nabil : ”Enggak, kok. Malahan Husnul lho yang bikin gank kita rame. Emang kenapa, Irma?”
Irma : ”Oh gitu. Tapi dia menarik, ya?” (tersenyum).
Ricko : ”Ehmm.... ehmm.... Ada yang lagi senang, nih.”
Irma : “Siapa yang lagi senang?“ (pura – pura nggak tau).
Nabil : “Eh, pura – pura nggak tau dia.”
Ricko : ”Iya, ’kan??”
Irma : ”Hmmm....., maunya gimana?”
Ricko : ”Maunya sih, iya.”
Nabil : ”Aku juga dukung kok kalo emang iya.”
Irma : ”Emangnya Husnul sukanya apa?”
Nabil : ”Irma suka Husnul. Irma suka Husnul.” (sambil tepuk tangan).
Ricko : ”Husnul itu banyak yang dia suka. Kasih aja kue – kue kering kayak Oreo atau apalah gitu.”
Nabil : ”Kamu suka Husnul, ’kan???” (nada menggoda).
Irma : (mengangguk sambil tersenyum).
Ricko : ”Tapi, kalo pedekate sama Husnul itu agak susah.”
Irma : ”Trus, gimana dong?”
Ricko : ”Ya mau nggak mau kamu harus menyesuaikan dengan tipe dia.”
Irma : ”Emangnya tipe dia seperti apa?”
Ricko : ”Ceweknya harus memiliki hobi yang sama dengan dia.”
Irma : ”Oh, gitu. Emang susah ya??” (nggak bersemangat).
Nabil : ”Kalo semua demi Husnul, nggak ada yang susah, ’kan?”
Irma : ”Iya. Semua untuk Husnul. Dan semua untuk cinta.”
Setelah Ricko memberitahukan hobi Husnul kepada Irma, dia mulai beraksi. Diikutinya Husnul setiap kali memasuki perpustakaan. Ketika Husnul sedang menggambar sketsa di sebuah meja besar, Irma duduk di hadapannya sambil mengomentari sketsa buatan Husnul.
Irma : ”Hai, Husnul. Gambar kamu bagus juga.”
Husnul : ”Eh, ada Irma. Makasih ya. Tapi ini bukan gambar. Namanya sketsa.”
Irma : ”Emang apa bedanya sketsa sama gambar?”
Husnul : ”Ya jelas bedalah.”
Irma : ”Tapi, gambar kamu bukan seperti sketsa, deh.”
Husnul : ”Makasih lagi. Tolong diam ya. Aku lagi konsentrasi nih.”
Irma : ”Iya, aku bakalan diam deh. Tapi ’kan kamu belum bilang apa bedanya sketsa sama gambar.”
Husnul : ”Rese ah!!!” (meninggalkan Irma yang duduk di hadapannya).
Irma : (kesal sambil memainkan rambutnya).
Di meja yang lain, Robby dan Ana membaca buku dengan judul yang berbeda. Sejak Irma memasuki perpus, Robby selalu memperhatikan Irma secara sembunyi – sembunyi. Namun walaupun begitu, Ana mengetahui hal tersebut.
Ana : ”Ada Irma tuh di meja sana. Dekatin yuk.” (pura – pura bersemangat).
Robby : ”Nggak usah, deh. Mungkin aja, Irma suka sama Husnul. Atau sebaliknya.”
Ana : ”Ayolah. Aku temani kamu mendekati Irma. Aku tidak suka orang yang berputus asa seperti itu.”
Robby : ”Aku bukannya berputus asa. Jika Allah menginginkan Irma bersama Husnul, Aku ikhlas, kok.”
Ana : ”Jangan seperti itu. Kamu bisa melakukan sesuatu untuk meluluhkan hatinya.”
Robby : ”Aku rasa Irma jatuh hati dengan Husnul.”
Ana : ”Sahabat aku tidak pernah berputus asa.”
Robby : ”Aku hanya ingin membuat Irma senang, itu saja.”
Ana : ”Jangan lakukan sesuatu yang akan menyiksa dirimu sendiri. Rasanya akan sakit jika kamu tau kalo dia tidak merasakan apa – apa dari pengorbanan itu.”
Robby : ”Percayalah, Ana. Aku tidak akan menyesal.”
Di tempat yang berbeda, Ricko dan Nabil sedang membahas isi novel.
Nabil : ”Kamu tau yang mana saja bukti dari latar waktu pada novel ini?”
Ricko : ”Aku rasa yang ini. Tapi beberapa kalimat setelahnya menjelaskan latar tempat.”
Nabil : ”Aku juga berpikir begitu. Emangnya satu kalimat saja bisa jadi bukti?”
Ricko : ”Aku rasa bisa.”
Ricko dan Nabil menulis sesuatu di buku latihan masing – masing. Kemudian, mereka kembali membahas tentang penokohan, sudut pandang, dan yang lainnya.
Nabil : ”Ayo kita baca lagi.”
Ricko : ”Kalau sudut pandang, aku rasa tokoh utama pelaku sampingan.”
Nabil : ”Benar juga. Karena tokoh menceritakan tentang temannya.”
Ketika akan menulis, tiba – tiba ponsel Ricko berbunyi.
Ricko : ”Bentar ya.” (menekan tombol di ponsel).
Nabil : (mengangguk sambil meneruskan menulis).
Ricko : ”Assalamu Alaikum....., Iya, Ma....., Sekarang......, ya udah. Nanti Ricko antar ya. Ricko sekarang mau pulang, kok. ....Ya....., Wa Alaikumussalam.” (mematikan ponsel).
Nabil : ”Mama kamu, ya?”
Ricko : ”Iya. Mama minta tolong diantarkan ke rumah temannya. Maklumlah, mobil mama lagi diservis.”
Nabil : ”Oh, ya udah nggak apa – apa. Pulang aja. Kasian mama kamu nungguin.”
Ricko : ”Nabil, tadi kamu nyatat sejarah, ’kan?”
Nabil : ”Iya. Kenapa?”
Ricko : ”Aku boleh pinjam catatan nggak? Tadi ’kan aku ada urusan sama anak basket.”
Nabil : ”Boleh.” (mengambil buku catatan di dalam ransel). ”Nih.”
Ricko : ”Makasih, ya. Maaf aku buru – buru.” (berdiri bergegas meninggalkan Nabil).
Nabil : ”Iya, nggak apa – apa. Hati – hati ya.”
Ketika Ricko akan memasukkan buku catatan Nabil ke dalam tas, sesuatu terjatuh. Ricko memungut benda yang jatuh dan terkejut. Ternyata benda itu adalah beberapa lembar fotonya sendiri yang dipotret Nabil secara diam – diam. Dia tersenyum melihat foto – fotonya sendiri karena mengerti bahwa Nabil suka dengannya. Akhirnya, Ricko hanya memasukkan buku catatan ke dalam tasnya dan tetap memegang beberapa foto dirinya sendiri.
Keesokan harinya, Ricko, Nabil, Husnul, dan Irma berunding untuk mencabut persyaratan yang mereka berikan kepada Robby.
Ricko : ”Aku rasa udah cukup Robby melayani kita. Gimana kalo kita cabut aja syarat itu.”
Nabil : ”Ada benarnya juga kalo kita cabut. Kasihan kalo kita terus minta ditraktir dia.”
Husnul : ”Iya, aku setuju. Aku rasa dia benar – benar serius mau merubah penampilan.”
Irma : ”Kalo menurut aku, mencabut syarat itu bukan cara yang benar. Yang aku mau, kita mencabut syarat itu setelah dia merubah karakternya.”
Husnul : ”Karakter itu nggak bisa diubah.”
Nabil : ”Tapi setuju ’kan sama usul Ricko? Kasihan, lho. Selama dia gabung sama kita, dia nggak pernah jajan.”
Ricko : ”Aku setuju aja. Usul ’kan datangnya dari aku.”
Husnul : ”Aku juga setuju.”
Irma : ”Ya udah. Aku ikut suara kalian aja.”
Nabil : ”Jadi siapa yang bilang ke dia sekarang? Takutnya nanti malah nraktir kita lagi.”
Ricko : ”Biar aku yang bilang ke dia. Tenang aja.“
Ketika jam istirahat, Robby membeli minuman dingin. Ketika dia berjalan beberapa meter dari kantin, dia melihat Irma berjalan menuju kantin.
Robby : ”Irma. Mau beli apa ke kantin?”
Irma : ”Mau beli minuman.”
Robby : ”Nggak ada minuman. Udah habis. Minum aja yang ini.” (menyodorkan minuman).
Irma : “Eh, bukannya syarat yang kemarin udah dicabut, ya? Ricko belum bilang?“
Robby : “Udah. Tapi ini buat kamu aja. Nggak apa – apa, kok.”
Irma : ”Berapa nih? Butuh diganti, nggak??”
Robby : ”Nggak usah. Minum aja.” (tersenyum).
Irma membawa minuman itu ke arah Husnul yang sedang duduk di lorong. Robby mengamati Irma dari jauh. Dia melihat air mineralnya diberikan kepada Husnul. Hal itu membuat Robby kecewa dan kemudian dia berjalan menuju arah yang berlawanan dengan lorong.
Tanpa sepengetahuan Robby, Husnul kesal dengan Irma.
Irma : ”Ayo, Husnul. Minumlah.”
Husnul : ”Irma, berapa kali aku bilang kalo aku lagi puasa.”
Irma : ”Tapi ’kan bisa dibatalkan. Liat tuh, keringat kamu membasahi mukamu yang cakep.”
Husnul : ”Kamu tuh kayak setang ya!! Menggoda orang biar batal puasa.”
Irma : ”Aku ’kan nggak mau kamu sakit.”
Husnul : ”Puasa nggak bikin sakit. Apalagi mati.”
Sepulang sekolah, Husnul melihat Guru BP yang sedang duduk di parkiran. Sambil mengendarai sepeda motornya, Husnul mendekati Guru BP tersebut.
Husnul : ”Belum dijemput, bu,”
Guru BP : ”Belum. Mungkin sebentar lagi.”
Husnul : ”Ibu nunggu siapa?”
Guru BP : ”Adik ibu. Kamu belum pulang, nak?”
Husnul : “Ya, ini mau pulang. Mau saya antar, bu?“
Guru BP : “Rumah kamu dimana?“
Husnul : “Di Panam. Rumah ibu dimana?“
Guru BP : ”Jarak rumah kita jauh sekali. Rumah ibu di Pandau.”
Husnul : ”Nggak apa – apa, bu. Ikut saya aja. Saya sekalian main ke rumah ibu.”
Guru BP : ”Bukannya ibu melarang kamu datang ke rumah ibu, tapi ibu sarankan kamu pulang saja. Kasihan adik ibu nanti. Mungkin saja dia sudah di jalan.”
Husnul : ”Hmm.... Kalo gitu, saya duluan ya, bu.”
Guru BP : ”Yuk mari.”
Dalam perjalanan, Husnul bergumam sendiri.
Husnul : ”Ya Allah, dialah peri yang aku mau. Bukan Irma yang posesif.”
Setelah berpikir semalaman, Husnul mendapatkan cara agar dia bisa berlama – lama dengan Guru BP. Keesokan harinya, Husnul mengenakan pakaian yang sangat tidak rapi ke sekolah. Dengan pakaian itu, dia nekad melewati Guru BP.
Guru BP : ”Husnul, kenapa memakai pakaian seperti itu?”
Husnul : ”Hari ini panas sekali, bu.”
Guru BP : ”Panas adalah berkah dari Tuhan. Kancingkanlah kemejamu sewajarnya.”
Husnul : ”Tapi bu, sebenarnya saya alergi dengan keringat.”
Guru BP : ”Ayolah. Jika kamu mengancingkan kemejamu akan terlihat cakep.”
Ketika Guru BP berlalu dari pandangannya, Husnul bersorak kegirangan.
Keesokan harinya, Husnul berbuat ulah lagi. Dia menendang tempat sampah sehingga terguling. Hal itu dilihat oleh Guru BP dari kejauhan. Guru BP hanya bisa menggeleng – gelengkan kepala sambil tersenyum melihat kelakuan Husnul.
Di perpustakaan, Ricko dan Nabil belajar bersama. Ketika sama – sama konsentrasi, Ricko seakan diingatkan pada sesuatu.
Ricko : ”Eh, makasih ya, catatannya.” (mengeluarkan catatan).
Nabil : ”Oh, ya. Sama – sama.” (mengacak lembaran buku dengan wajah panik).
Ricko : ”Cari apa?” (pura – pura tidak tau).
Nabil : ”Nggak ada. Kalo misalnya hilang juga nggak apa – apa.”
Ricko : ”Kayaknya penting ya?”
Nabil : ”Nggak.” (wajah panik).
Ricko : ”Beneran nggak penting??” (senyum jahil).
Nabil : ”Beneran!!!”
Ricko : ”Kalo yang ini nggak penting?” (mengeluarkan foto –fotonya),
Nabil : ”Emangnya foto kamu kenapa?” (pura – pura bodoh).
Ricko : ”Kalo gitu kenapa ada di catatan kamu?”
Nabil : ”Soalnya.... hmm....”
Ricko : ”Apa??” (nada menggoda).
Nabil : ”Aku ’kan anggota ekskul fotografi. Jadi wajar dong aku nyimpan foto kamu.” (ragu – ragu).
Ricko : ”Yakin ikut ekskul fotografi?”
Nabil : ”Iya. Emang kenapa sih??”
Ricko : ”Setau aku, anak fotografi itu selalu bawa kamera ke sekolah.”
Nabil : ”Aku ’kan khusus mengambil gambar dari kamera ponsel.” (ngeles).
Ricko : ”Ya udah kalo gitu. Nih, aku kembalikan.” (memberikan beberapa foto kepada Nabil).
Nabil : ”Lho, buat apa??” (pura – pura tidak tau).
Ricko : ”Buat contoh. Aku ’kan model kamu.”
Nabil : ”Model apa??”
Ricko : ”Model malaikat di hati kamu.” (tersenyum).
Nabil : ”Masa’ iya?” (pipi mulai merona).
Ricko : ”Makanya foto aku tuh disimpan. Jangan lupa dikoleksi sekalian.”
Nabil : (membolak – balikkan lembaran foto. Di belakangnya terdapat tulisan ’I LOVE YOU TOO’). ”Apa ini?? Aku nggak ngerti.”
Ricko : ”Jangan berpura – pura bodoh, Nabil. Aku tau kalau kamu suka sama aku.”
Nabil : (tersenyum bahagia).
Beberapa hari kemudian, Irma sering tidak hadir ke sekolah. Ricko, Nabil, Husnul, dan Robby tidak merasa terganggu dengan ketidakhadiran Irma. Hari ini, tersiar kabar bahwa Irma pindah sekolah.
Nabil : ”Dengar – dengar, Irma pindah sekolah, ya?”
Husnul : ”Bagus dong.”
Ricko : ”Lho, kok bagus sih?? Bukannya dia suka sama kamu??” (pura – pura bodoh).
Husnul : ”Kalo dia suka sama aku, aku bilang makasih banyak atas perhatiannya. Tapi maaf aja, aku nggak suka cewek posesif kayak dia.”
Nabil : ”Tapi dia nggak tau terimakasih juga, lho. Ingat nggak waktu kita berempat berunding buat mencabut syarat? Yang nggak setuju ’kan cuma Irma. Padahal dia gabung sama kita tanpa syarat apapun.”
Ricko : ”Kalo menurut kamu, gimana, Robby?”
Robby : ”Semua yang kalian tadi ada benarnya.”
Ricko : ”Aku rasa, Irma emang suka pindah – pindah sekolah kalo kena masalah.”
Nabil : ”Atau dia pindah dari sekolah kita karena patah hati?”
Robby : ”Dengar – dengar, orang tuanya kaya banget. Trus ada yang bilang kalo dia pindah atas kemauan dia sendiri, bukan karena orang tuanya pindah tugas.”
Nabil : ”Oh ya??”
Husnul : ”Aku harap dia ikut program home schooling aja. Dengan cara itu mungkin tidak membuat banyak orang kesal dengan dia.”
Ricko : ”Betul itu.”
Keesokan harinya, Husnul melakukan sesuatu yang akan membuat orang lain celaka. Dia menumpahkan isi air mineral ke lantai pada saat sepi. Hal itu diketahui Guru BP.
Guru BP : ”Husnul, kenapa airnya dibuang – buang?”
Husnul : ”Saya nggak mau minum, bu.”
Guru BP : ”Kalo nggak mau minum jangan ditumpahkan ke lantai seperti ini. Nanti kalo ada yang terpeleset malah menimbulkan masalah. Kalau tidak mau minum, buang saja ke tanah.”
Husnul : ”Saya lagi nggak bisa berpikir secara realistis, bu.”
Guru BP : ”Air itu berkah dari Tuhan. Akhir – akhir ini juga kamu sering berbuat masalah di depan saya.” (duduk di salah satu teras kelas).
Husnul : ”Saya lagi senaaaaang sekali saat ini.”
Guru BP : ”Ibu senang kalau kamu senang. Tapi jangan berbuat yang aneh – aneh seperti ini. Apalagi bisa membahayakan orang lain.”
Husnul : (duduk di samping Guru BP). ”Bu, saya boleh tau sesuatu tentang ibu, nggak?”
Guru BP : ”Kamu mau tau apa tentang ibu?”
Husnul : “Ibu udah punya suami?“
Guru BP : “Hahahaha...... Kalau yang itu urusan Allah. Belum. Emangnya kenapa?”
Husnul : ”Kalau misalnya ada yang suka dengan ibu, gimana?”
Guru BP : ”Ibu akan mengucapkan terimakasih karena telah jatuh hati dengan ibu. Tapi pastinya ibu menentukan pilihan juga.”
Husnul : ”Sama – sama, bu.” (memandang Guru BP tak berkedip).
Guru BP : ”Lho, kok kamu yang jawab?”
Husnul : ”Karena saya suka dengan ibu. Bu, mau nggak jadian dengan saya?”
Guru BP : ”Husnul, masih ada cewek yang lebih menarik daripada saya. Selain itu juga masa depanmu masih panjang, ’kan?”
Husnul : ”Tapi, Cuma ibulah yang bisa menenangkan hati saya. Dengan mendengarkan kata – kata bijak dari ibu, rasanya ada sesuatu yang mengisi hati saya.”
Guru BP : ”Husnul, di masa SMA ini, masih banyak peluang kamu untuk mendapatkan pendidikan. Saya mengerti kamu sedang dalam masa pertumbuhan. Tapi, saya tidak mau masa depanmu terganggu hanya karena menuruti kata hati. Masih banyak peluang untuk mendapatkan cinta dari cewek yang sempurna.”
Husnul : ”Tapi hati saya hanya ingin ibu. Bukan cewek lainnya.”
Guru BP : ”Kalo gitu, saya akan menganggap kamu teman, bukan siswa saya.”
Husnul : ”Saya ingin lebih dari itu.”
Guru BP : ”Oke. Kalau gitu kita sahabatan aja, ya.”
Husnul : ”Tidak bisakah lebih dari batas sahabatan?”
Guru BP : ”Husnul, ibu tidak mau kamu menderita ketika ibu dimutasi. Saya bisa saja ke sekolah lain.”
Husnul : ”Saya terima itu. Tapi saya menganggap ibu lebih dari itu.”
Guru BP : ”Terimakasih. Tapi maaf saya tidak bisa seperti yang kamu inginkan.”
Husnul : ”Tidak apa – apa, bu. Saya juga memakluminya.”
Di perpustakaan, Robby melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Husnul kepada Guru BP, yaitu mengungkapkan isi hatinya kepada Ana.
Robby : ”Ana, kalo misalnya ada yang suka sama kamu, gimana?”
Ana : ”Untuk saat ini, aku lebih memilih untuk tidak menyukai cowok manapun. Kecuali malaikat yang ada di hatiku.”
Robby : ”Ana, sebelum Irma kesini, ada sesuatu yang indah di hati ini. Dan ketika Irma dirisi, rasa itu semakin kuat.”
Ana : ”Kamu suka dengan seseorang? Siapa dia?” (pura – pura bersemangat).
Robby : ”Ana, jangan berbohong kalau kamu tidak suka saat aku dekat dengan Irma.”
Ana : ”Aku tidak berbohong. Malahan, aku mendukung kamu, ’kan?”
Robby : ”Tapi ada sesuatu yang janggal saat kamu mengizinkan aku untuk dekat dengan Irma saat itu.”
Ana : ”Sekarang, kamu jatuh hati dengan siapa?”
Robby : ”Sama....., sama sahabatku sendiri.”
Ana : ”Siapa? Nabil?”
Robby : ”Bukan!!!”
Ana : ”Trus sama siapa?”
Robby : ”Sama orang yang menunggu malaikatnya datang ke sisinya.”
Ana : (terkejut. Tapi berusaha disembunyikan). ”Maksud kamu siapa? Aku?”
Robby : ”Iya. Kamulah yang menjadi peri di hatiku selama ini.”
Ana : ”Kenapa kamu memilih aku? Masih banyak ’kan cewek yang bisa dipilih? Yang lebih modis.”
Robby : ”Karena aku sangat suka dengan cewek yang menjadi dirinya sendiri, dan kita memiliki prinsip – prinsip hidup yang sama, ’kan?”
Ana : (ragu – ragu). ”Terimakasih, Robby. Tapi aku minta maaf. Aku masih mengharapkan malaikatku.”
Robby : ”Jadi bukan aku malaikatnya?”
Ana : ”Bukan. Tapi orang yang pernah cupu seperti aku, kutu buku, baik, cerdas, alim, dan pengertian dengan sahabatnya sendiri.”
Robby : (tersenyum senang). ”Terimakasih, Ana.”
Sejak saat itu, Robby, Ana, Ricko, Nabil, dan Husnul sering berkumpul di ruang BP. Ana yang dulunya cupu telah berhasil merubah penampilannya. Mereka sering mengobrol bersama Guru BP. Tak jarang, masalah yang mereka hadapi dapat dipecahkan bersama – sama.
Naskah yang paling aku benci...
BalasHapusNaskah yang paling aku sesali...
Naskah yang membuat waktuku terbuang sia - sia...
Naskah yang membuatku sial....